"Perjuanganku lebih mudah karena melawan bangsa asing, dan perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri," begitu kiranya yang diucapkan Ir. Soekarno setelah kemerdekaan Indonesia berkumandang.
Soekarno paham betul bahwa Merdeka pada tahun 1945 itu bukanlah akhir dari perjuangan. Kibaran Merah-Putih di Jl. Pegangsaan Timur bersama ratusan masyarakat yang hadir menjadi awal revolusi bangsa Indonesia, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mentalitas rakyat Indonesia. Dan, perjuangan revolusi ini masih belum berakhir.
Ujian kemerdekaan Indonesia masih terus diuji hingga kini. Bumi pertiwi masih banyak dan semakin banyak yang digerus oleh bangsa Asing, sebagai lahan pertambangan, lahan perkebunan, maupun proyek industri. Bahkan masyarakat Indonesia juga harus menelan pil pahit ketika represi ideologi Asing masih terus menggempur.
Ketika Soekarno keluar dari PBB dan membentuk gerakan Non Blok, ia memahami bahwa berakhirnya perang dunia II bukan berarti tidak akan ada lagi ajang kuasa-menguasai bangsa yang satu atas bangsa yang lainnya. Justru, peperangan semakin "menggila". Tidak ada lagi bombardir senjata, tetapi dominasi nalar yang terjadi. Tidak ada lagi pertumpahan darah, tetapi hilangnya nurani yang terjadi. Peperangan bukan lagi menggaris-batas negara, tetapi secara terang-terangan masuk ke dalam negeri dengan rayuan-rayuan atas nama "kemajuan".
Produk-produk Asing, budaya, dan ideologi masuk begitu bebasnya. Tidak ada yang menyadari bahwa negara-negara luar sedang adu rayu terhadap masyarakat kita untuk menguasai sistem atas Indonesia. Justru masyarakat sering menganggap bahwa apa yang datang dari "luar" adalah sebuah keniscayaan, hal baru yang wajib dimiliki dan diterapkan di dalam negeri.
Miris bukan, ketika pemilik bangsa justru semakin tidak mempercayai bangsanya sendiri. Mungkin dulu Soekarno harusnya menambahi, bukan hanya melawan orang-orang bangsa sendiri yang berat, tetapi perjuangan untuk membangkitkan kesadaran diri sendiri adalah yang terberat. Membicarakan para oknum ataupun pejabat yang menggelembungkan dana untuk perutnya atau melacurkan diri terhadap investor asing sudah terlalu klise, meski perlu ditumpas habis kasus-kasusnya. Tetapi, yang menjadi PR besar kita saat ini ialah membangkitkan kesadaran untuk merawat dan meruwat bangsa oleh setiap individu. Dengan begitu, aksi saling sikut tidak akan mudah terjadi.
Merdeka di Bawah Pandemi
Kemerdekaan Indonesia masih harus diuji dengan datangnya pandemi Covod-19. Di tengah huru hara masalah negeri yang penuh intrik, pandemi datang dan semakin membuat ricuh stabilitas negara. Kepanikan terjadi di mana-mama, baik karena angka ketertularan virus maupun dampak dari aturan-aturan pembatasan yang melemahkan semua lingkup kehidupan (ekonomi, pendidikan, politik, dll).
Ketika semua pihak masih terus mencari jalan merdeka dari Covid-19, tanpa disadari, kemerdekaan kita sebagai masyarakat Indonesia dan sebagai manusia justru semakin terkikis. Bagaimana tidak, situasi krisis membentuk tindakan represif yang semakin baru. Saat ini, peningkatan pengawasan, pembatasan kebebasan berekspresi dan informasi, dan pembatasan partisipasi publik menjadi semakin umum.
Menurut laporan Freedom House Tentang dampak COVID-19 terhadap perjuangan global untuk kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia telah memburuk di 80 negara sejak awal COVID-19. Laporan tersebut didasarkan pada survei terhadap 398 ahli dari 105 negara. Penyalahgunaan kekuasaan salah satu penyumbang hilangnya kebebasan warga negara. Termasuk yang terjadi di Indonesia.
Penyalahgunaan kekuasaan ini bukan hanya terkait kasus korupsi dana bantuan Covid-19 tetapi juga peraturan pembatasan, baik tubuh fisik maupun nalar. Selama pandemi, kita dipaksa tunduk terhadap setiap aturan yang diproduksi. Tidak ada celah untuk lolos dari hukum yang berlaku terhadap pelanggaran "aturan".
Krisis virus corona dengan cepat menjadi krisis hak asasi manusia. Kita sudah sering melihat bagaimana "aparat" bersikap dalam menegakkan aturan pembatasan. Menggunakan kalimat sarkasme dan bahkan tindakan yang mengindikasikan kekerasan. Semua itu menjadi "normal" dengan mengatasnamakan "upaya mengakhiri pandemi".
Masyarakat yang penuh dengan kecemasan akan ketertularan dan kematian dibuat tidak berdaya di hadapan aturan dan hukumnya. "Disiplin" adalah tujuan mutlak dari semua upaya meniadakan Covid-19. Sayangnya, di dalam kedisiplinan ada kemerdekaan yang terbungkam.
Masyarakat tidak diperkenankan untuk memiliki hak hidup atas dirinya. Semua aturan mulai dari pembatasan tubuh sampai wajib vaksin sudah diputuskan oleh sang "penguasa". Dan atas nama "perlindungan kesehatan dan keberlangsungan hidup", nalar kita sebagai manusia juga dipaksa untuk dikunci rapat-rapat.
Di tengah krisis pandemi, tidak ada yang boleh "mengetahui" dan "berbicara" kecuali "yang diperkenankan", dalam hal ini; pemerintah dan sistem medis. Ironisnya lagi, jaring pengetahuan yang ditebar kepada masyarakat terkait covid-19 semuanya diadopsi dari luar. Sama sekali tidak ada narasi yang merupakan hasil dari observasi dan telaah para "ahli" di Indonesia. Apa yang diwacanakan oleh "Asing", seakan menjadi kebenaran, dan pengendali keputusan di dalam negeri dibuat taklid terhadapnya.
Dahulu Soekarno sudah pernah mengingatkan, lebih baik kita miskin daripada kaya dari hasil mengemis terhadap bangsa asing. Dan nyatanya, negeri kita bukanlah negeri miskin dan tak punya apa-apa. Kita kaya atas bumi yang kita pijak dan nalar yang kita junjung.
Kita, bangsa Indonesia adalah insan yang merdeka. Tidak hanya dari "label" tetapi juga secara nalar dan nurani. Meskipun hari ini kemewahan itu sedikit terenggut, bukan berarti bangsa Indonesia menjadi bangsa bermental budak. Bangsa Indonesia jaya sebagai bangsa yang cerdas dan penuh potensi. Sudah saatnya kita membangunkan diri dan tidak lagi menjadi "bangsa macan tidur".
"Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad ‘Merdeka, merdeka atau mati'!"- Ir. Soekarno.
[Ainun]
KOMENTAR