Lebanon menjadi saksi kelahiran sastrawan legendaris, Kahlil Gibran. Karya pujangga kelahiran 1883 di desa Bisharri Lebanon Utara ini masih memiliki tempat dan nilai kesusastraan yang diperbincangkan hingga hari ini.
Karya-karya Kahlil Gibran banyak terinspirasi dari kemelut kisah hidupnya. Salah satu yang paling terkenal ialah "The Prophet" (1923). Buku yang sudah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa ini membuat nama Kahlil Gibran menjulang di dunia kesusastraan.
Gibran kecil lahir dalam lingkungan keluarga Kristen Maronit, suatu mazhab yang bernaung dalam lingkungan gereja Katolik Roma. Pendiam dan sensitif merupakan karakter khas dari masa kecil seniman itu. Di lain sisi, ia sudah terlihat mampu menunjukkan bakat artistik dari dalam dirinya. Bakat dan sifat kecintaan terhadap alam itulah yang menjadi bekal Gibran pada karya-karyanya di masa dewasa.
Keluarga Gibran hidup dengan keadaan ekonomi yang serba pas pas-an. Ayah Gibran merupakan sosok yang temperamental. Meskipun bekerja sebagai pemungut pajak, tetapi penghasilannya banyak dihabiskan untuk berjudi dan membeli arak. Gibran juga harus menerima kenyataan pahit ketika sang ayah didakwa kasus penggelapan materi, dan membuat harta bendanya disita.
Sedangkan sang ibu merupakan seorang Pendeta Kristen Maronit. Karena terhimpit finansial, akhirnya sang ibu memboyong keluarganya untuk pindah ke Boston, Amerika Serikat (1895).
Di Boston inilah, Gibran mulai mengasah bakatnya dalam kesusasteraan dan seni lukis (1895 - 1897). Ia menjadi seorang fotografer dan bekerja di penerbitan Holland Day. Dari sini, Gibran mulai bergabung dengan komunitas sastra yang lebih besar.
Tiga tahun setelah kepindahannya itu, Gibran kembali ke tanah kelahirannya. Bersekolah di College De La Sagasse Beirut, sekaligus berkarya dan berkreasi pada puisi. Hingga ia mampu mendirikan sebuah lembaga majalah di tingkat kesiswaan.
Ia mendapat sanjungan dan pujian di waktu kelulusannya dengan bakatnya tersebut. Kemudian Gibran memutuskan untuk mengembara. Yunani, Italia, dan Spanyol sempat ia singgahi sebelum memutuskan menetap di Paris untuk belajar seni. Di kota Menara Eiffel ini, ia belajar dan mendapat pengaruh kuat dari pematung ternama, Auguste Rodin.
Spirit Anarko
Kehidupan di Timur dan Barat dalam sosio budaya yang jauh berbeda, membuat Gibran menjelma menjadi seorang yang kosmopolitanis. Ia tidak peduli lagi dengan batas-batas negara yang melintanginya, sehingga yang ia percayai adalah kita (manusia) semua sama dalam bingkai kemanusiaan. Apabila terdapat suatu kaum yang tertindas, berarti kemanusiaan tiada di dalamnya dan harus diperjuangkan.
Tepat di Ibukota Paris Perancis, Gibran menuliskan sebuah buku berjudul "Spirit Rebellious" (Roh Pemberontak) yang diterbitkan di New York. Buku ini ia tulis berdasarkan realitas sosial. Gibran melihat terjadinya ketimpangan keadilan dalam bingkai kehidupan.
Pada masa itu, Gibran menganggap pihak gereja tidak adil dan dipenuhi dengan kemunafikan, "Untuk apa dibangun megah sebuah Gereja, sementara penganutnya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan? Kenapa para pendeta hidup dalam kemewahan makanan dan lezatnya anggur, tetapi penganutnya memeras keringat dan masih sengsara?"
Bermula dari buku berisikan empat kisah yang menyindir secara frontal dan tajam terhadap mengerikannya cultural corruption yang dilihatnya, membuat pihak gereja kesal atas kritikan Kahlil Gibran. Alhasil, pihak gereja memutuskan untuk membakar karya Gibran (Spirit Rebellious) di depan khalayak ramai, sekaligus menghukumnya dengan melakukan pengucilan dari Gereja Maronit.
Sosok jiwa-jiwa pemberontak telah merasuk dalam diri seniman dan juga penulis itu. Ia menyayangkan, bagaimana bisa kaum biarawan yang digambarkan sebagai sosok domba di tengah-tengah gerombolan serigala lantas mengubah diri menjadi serigala di tengah domba-domba? Ketimpangan saat itu terekam jelas dan membuat Gibran berkeinginan merombak formasi sosial yang ada.
Paska hukuman ekskomunikasi yang dijalankan Gibran, saudara Gibran yang tinggal di Boston Peter dan Sultana wafat, kemudian disusul ibunya, Kamilah. Keluarga Gibran satu persatu mulai meninggalkannya, dan yang tersisa hanya saudara perempuannya, Mariana yang bekerja sebagai penjahit di Miss Teahan's Gowns.
Ketika Gibran kembali lagi ke Boston, Marianna yang membayar biaya penerbitan karya-karya kakaknya itu. Berkat kerja keras Marianna dari hasil menjahit, Gibran bisa meneruskan karirnya di dunia kesusasteraan.
Setelahnya, Gibran kembali lagi ke Paris untuk belajar seni. Dari tahun 1909 - 1910, Gibran secara khusus menimba ilmu di School of Beaux Arts dan Julian Academy, dengan bantuan seorang wanita yang 10 tahun lebih tua darinya, Mary Haskell. Wanita yang juga memiliki kedekatan khusus dengan Gibran ini menjabat sebagai kepala sekolah, dan Gibran menerima uang yang cukup darinya.
Berkat karya-karyanya, Gibran memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan puisi dan sastra Arab pada paruh pertama abad ke-20, serta dinobatkan sebagai pahlawan sastra di Lebanon. Ia meninggal di usia 48 tahun akibat kerusakan paru-paru. Gibran mewariskan royalti dari karya-karyanya untuk museum yang menyimpan semua karyanya hingga hari ini. [Agung P]
KOMENTAR