Album : Dalbo
Dirilis : 1993
Direkam : 1993
Genre : Pop-Balada
Label : Metrotama Records
Siapa yang tidak mengenal Iwan Fals? Penyanyi legendaris di Indonesia yang tenar di era 80-an sampai 90-an, bahkan hingga kini. Iwan Fals mengawali karir bermusiknya dari menjadi musisi jalanan di Bandung, Jawa Barat. Musisi dengan nama asli Virgiawan Listianto ini besar berkat album "Sarjana Muda" di tahun 1981.
Iwan Fals menjadi primadona dan inspirator bagi pemusik di Indonesia. Seperti yang diakui Bim-bim Slank bahwa Iwan Fals menjadi inspirasi dari musik karya-karya grup band Slank. Menurutnya, musik menjadi lebih bermakna ketika menaruh sesuatu di dalamnya, seperti semangat atau berisi hal yang menggambarkan kehidupan, salah satunya kritik sosial.
Iwan Fals memang dikenal sebagai musisi yang menyuarakan keadilan di dalam karya-karyanya. Syair-syairnya begitu berani dan lantang mengkritisi pergolakan politik dan pemerintahan, terutama setelah keterbungkaman hak untuk bersuara di masa Orde Baru.
Karena kejujuran di dalam karyanya itu, Iwan Fals mengalami pemboikotan, pembredelan karya, hingga diseret masuk bui. Meski begitu, ia tidak pernah gentar untuk terus bersuara dan berkarya.
Dari sekian banyak syair milik musisi yang akrab dipanggil bang Iwan ini, yang paling keren menurut saya ialah lagu dengan judul "Hura Hura Huru Hara". Liriknya yang menggelora, tidak padam seiring waktu. Bahkan masih saja relevan di setiap keadaan, termasuk hari ini.
"Apa jadinya jika mulut dilarang bicara? Apa jadinya jika mata dilarang melihat? Apa jadinya jika telinga dilarang mendengar? Jadilah robot tanpa nyawa yang hanya mengabdi pada perintah ...," sepenggal lirik dari lagu yang masuk dalam album "Dalbo" tersebut.
Lagu yang menceritakan bagaimana jadinya jika seseorang dilarang keras menyampaikan pendapat ke depan publik ini menyiratkan matinya kebebasan untuk berpendapat semasa Orde Baru. Nilai demokrasi yang tercederai oleh praktik KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) di masa itu, menjadi memori yang pantang untuk dikritisi karena ketatnya pengawasan dari pemerintah.
Tragedi demi tragedi tercatat jelas, seperti tragedi 1965, Penembakan Misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari (1989), Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Kerusuhan Mei 1998, Penembakan Tri Sakti, Semanggi I, Semanggi II (1998-1999) semuanya tak lebih dari terkebirinya keran kebebasan. Bahkan, lembaran percikan noda hitam tersebut masih tersimpan rapi di laci Kejaksaan Agung dan negara lebih memilih diam serta acuh. Ironis.
Sementara itu, suara-suara Iwan Fals semakin menggema dan membangkitkan spirit orang muda, aktivis, serta kaum pengharap kebebasan, yang berujung pada lengsernya Soeharto setelah 32 tahun menduduki kursi kepresidenan. Seiring dengannya, masyarakat mendesak pemerintah untuk merumuskan kebijakan demokratis, yakni kebebasan berpendapat di muka publik (1999).
Nalar Baper dalam Carut Marut Negeri
Bukan menjadi hal yang baru lagi ketika baper (bawah perasaan) menjadi fenomena yang menjangkiti lika-liku kehidupan masyarakat. Fenomena baper mulanya ramai di kalangan remaja akibat konflik percintaan. Namun semakin ke sini, fenomena baper juga masuk ke ranah orang-orang dewasa dan melintas batas di semua lini kehidupan. Termasuk dunia politik.
Setelah 22 Tahun negara Indonesia menerapkan kebebasan berpendapat di muka publik yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, bukan berarti persoalan "bersuara" ini lantas usai. Suara rakyat atau aspirasi publik yang kontra dan menjadi oposisi mendapat kecaman dari istana negara.
Seperti yang terjadi belum lama ini di tengah panasnya pandemi Covid-19. Konflik "the King of Lips Service" antara Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Indonesia (UI), Presiden Indonesia, serta Rektor UI seperti membangkitkan persoalan "bersuara" yang selalu memiliki panggungnya. Terlepas dari pihak mana yang lebih benar atau sebaliknya, kejadian ini paling tidak memperlihatkan bahwa negeri ini terus berkemelut dari persoalan kritik-mengkritik.
Atau, huru hara para pejabat yang terjadi di penghujung tahun 2020 lalu, terdapat konflik antara Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Konfrontasi antar keduanya tersulut, sebab Din Syamsuddin rajin dalam bersuara. Ia membuka, bagaimana buruknya penanganan pemerintah terhadap Covid-19, pemberantasan korupsi, dan RUU Cipta Kerja kemaren.
Ungkapan demi ungkapan yang dilontarkan Syamsuddin akhirnya mendapat umpan balik, Pemerintah naik pitam dan Moeldoko geram. Menurut sang Jenderal, apa yang disampaikan Syamsuddin termasuk dalam kategori mengganggu stabilitas politik yang terjadi dalam negeri. Tidak hanya mengumpan, Moeldoko juga menyerang dengan barisan kata bernada ancaman. Beresiko, katanya.
Berangkat dari pemerintah yang jelas jengkel atas sikap Syamsuddin, terlihat seakan pemerintah ogah untuk diberi masukan, apalagi kritik. Jadi, apabila masyarakat mencanangkan label anti-kritik terhadap pemerintah menjadi hal yang sah-sah saja. Toh juga demikian, hura hura huru hara di Indonesia menjadi realita yang harus dihadapi bersama.
Jika masih ingat, tahun 2018-2019 ketika perhelatan politik negeri ini digelar, kita secara langsung berhadapan dengan manusia-manusia baper yang tak henti berkicau. "Cebong-Kampret" menyesaki nalar negeri ini. Adu kritik masing-masing kubu tidak lagi mengenal usia, jabatan, atau status. Semuanya berlagak sama dan saling klaim kebenaran.
Persoalan kritik-mengkritik seringkali bermain dalam arena kelas. Kelompok sosial bawah dibuat tabu untuk mengkritik kelompok yang di atas. Sebagai contoh, ketika mahasiswa melontarkan kritikan terhadap hasil kinerja rektor, si pengkritik akan dicap sebagai pembangkang dan tidak beretika. Bahkan, kritikan akan berbalik dengan pertanyaan "apakah mahasiswanya sudah lebih pintar dibanding rektor?"
Yang menjadi persoalan ialah, apakah untuk bisa mengkritik harus memiliki jabatan lebih dulu? Bukankah kualitas kritikan itu bergantung pada apa dan bagaimana kritikan dilontarkan, bukan dari kursi mana pemberi kritikan berasal?
Pada mekanismenya, kritik penting dihadirkan untuk melawan status quo. Menyeimbangkan berjalannya suatu tatanan, sehingga tidak didominasi oleh sebelah pihak saja.
Ilusi Kritik yang Membangun
Istilah "kritik yang membangun" telah ada semenjak era presiden Soeharto berkuasa. Para pengikutnya sering mengutarakan di depan publik, "kritik yang membangun". Padahal, tidak ada kaitannya antara kritik dan membangun.
Karena secara bahasa, kritik diartikan sebagai proses analisa dan evaluasi. Sedang membangun berarti bangkit, berdiri dan naik. Kedua hal itu tidaklah sinkron. Dan seorang cendekiawan, Daniel Dhakidae mengkritik keras apa itu "kritik yang membangun".
Penulis asal Flores tersebut tidak setuju apabila kritik dilontarkan dengan halus. Menurutnya, kritik harus tajam menghujam, menjalar sampai ke akar, dan menguliti sampai ke luar. Tidak perlu dihalus-haluskan, karena keduanya adalah dua kata yang bertolak belakang. Menggabung-gabungkan sama dengan kesia-siaan. Kalau pun yang dikritik sakit hati, itulah sifat dasar kritik.
Pada istilah kritik yang membangun, Daniel mengusulkan untuk mengubahnya menjadi "membangun dengan kritik". Menurutnya, kritik tidak hanya tertuju pada individu atau jabatan publik semata. Namun, lebih luas dan semunya berhak aktif dalam berbenah.
Sedikit mengingat cerita seorang orator ulung, negarawan, filsuf, ahli politik, sekaligus ahli hukum dari masa Romawi Kuno, Marcus Tullius Cicero. Ia hidup sezaman dengan Gaius Julius Caesar, Pompeius Magnus atau Pompey Agung, dan Marcus Crassus yang merupakan para pejabat pemerintahan kala itu.
Keterlibatan Cicero dengan tokoh-tokoh tersebut menyadarkannya tentang dunia perpolitikan yang penuh intrik. Ia mendapat banyak sanjungan dari kemampuannya dan membuatnya khawatir dengan puji-pujian dari publik, padahal ia mengetahui bahwa dirinya tidak lepas dari kesalahan.
Oleh karena itu, Cicero mempekerjakan seorang budak yang selalu membisikkan kepadanya ketika dirinya melakukan kesalahan. Cicero ingin mengevaluasi dan meng-upgrade apabila dirinya keliru. Jika tidak dan dibiarkan, sama saja dengan Cicero menyulut api huru hara. Terpendam dan meledak seketika. Di situlah suara budak yang dalam keramaian secara khusus mengingatkan, sekaligus mencegah kerusuhan yang tiba-tiba terjadi.
Kebebasan berpendapat dan kritik yang dilontarkan tak lain untuk membentuk suatu kehidupan yang seimbang. Jika ada keliru, kritiklah. Bahkan dari tulisan saya ini, pembaca berhak mengkritik. Tak pandang tua muda, apalagi derajat santri dan mahasiswa. Semua bebas berekspresi.
Sebagaimana yang termaktub dalam kalimat al insanu mahallul khoto' wa nisyan (manusia tempatnya salah dan lupa), maka bangunlah sesorang dengan kritik. [Agung P]
KOMENTAR