Ketika saya membuka Twitter di pagi hari, tepatnya Rabu (07/07/21), saya tidak sengaja membaca #uinwsmahal dari postingan teman. Munculnya tagar #uinwsmahal menarik perhatian dan memancing tanda tanya di kepala saya. Saking penasarannya, saya lantas memencet tagar itu dan tampillah beragam cuitan dari mahasiwa UIN Walisongo.
Saya pun membaca beberapa postingan mahasiswa yang disertai dengan tagar #uinwsmahal. Dari beberapa cuitan, ada yang berhasil membuat saya tertegun saat membacanya. Seperti cuitan dari pemilik akun @AnnisaLisafida, "Kayaknya kampus rakyat tapi UKT-nya gak merakyat. Tolonglah kebijakannya." Ada juga dari @raaaaaaaaaaht, "Fasilitas kampusku gak kepake 100%, tapi kenapa bayar UKT 100%, mana kalau mau ngurus penurunan UKT prosesnya panjang banget. Mangsedih," tulisnya.
Setelah saya telisik, tampil postingan berupa gambar yang berisi seruan untuk melakukan aksi virtual dengan menyertakan tagar #uinwsmahal. Aksi ini dipenuhi beragam keluhan dan kritik mahasiswa terhadap kebijakan kampus. Seruan aksi inilah yang membuat #uinwsmahal menjadi trending Twitter pada malam harinya. Tidak hanya virtual, aksi yang diinisiasi oleh Aliansi Mahasiswa Walisongo juga dilakukan di depan Gedung Rektorat.
Kronologi aksi ini berawal dari diterbitkannya surat pengumuman no. B-2478/Un. 10. 0/R.2/DA.02.01/06/2021 tentang pembayaran UKT. Mahasiswa tidak sepakat dengan kebijakan yang menyebutkan bahwa kampus tidak membuka pengajuan keringanan UKT bagi mahasiswa terdampak covid-19 pada semester gasal tahun 2021/2022. Selain itu faktor lain yang memicu aksi ini yaitu adanya surat pernyataan yang harus ditandatangani calon mahasiswa baru 2021 saat verifikasi, yang menyatakan bahwa mahasiswa sanggup membayar besaran UKT dan tidak boleh mengajukan banding.
Keputusan pihak kampus ini dinilai memberatkan mahasiswa. Lantaran tidak menjamin secara penuh hak-hak mahasiswa. Kampus terkesan sepihak dalam menetapkan kebijakan tanpa mengajak dialog terlebih dahulu dengan perwakilan mahasiswa. Terlebih lagi, mahasiswa dihadapkan dengan permasalahan pandemi covid-19. Jika kita kaji, apakah kebijakan ini tepat melihat kondisi ekonomi mahasiswa yang kesulitan setelah terdampak pandemi?
Jika melihat realitas sosial, masyarakat mengalami kesulitan dalam mencari penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan pandemi covid-19 yang sudah menjangkit selama satu tahun lebih ini mengakibatkan krisis ekonomi. Kebijakan pemerintah soal pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan justru dapat menurunkan pendapatan masyarakat.
Kondisi ini juga dialami keluarga mahasiswa UIN Walisongo. Seperti yang banyak dikeluhkan mahasiswa melalui akun twitter-nya. Bahwa masalah ekonomi menjadi faktor krusial dalam menunjang pendidikan. Apalagi saat ini sudah memasuki waktu pembayaran UKT, tentunya mahasiswa harus membayarnya jika ingin melanjutkan kuliah.
Jika mahasiswa tidak bisa membayar biaya UKT, hanya dua kemungkinan yang terjadi. Yaitu mahasiswa memilih mengambil cuti atau mengundurkan diri. Sementara berdasarkan survei dari DEMA UIN Walisongo, terdapat sebanyak 401 mahasiswa yang berencana untuk cuti pada semester gasal tahun 2021/2022. Faktor ini disebabkan tidak lain karena masalah perekonomian yang berimbas kepada proses pendidikan.
Melihat kondisi ini, kampus sebagai instansi yang menjadi tempat mahasiswa untuk menempuh pendidikan, sudah seharusnya menerapkan kebijakan yang memprioritaskan masalah mahasiswa. Keringanan biaya kuliah maupun bantuan lainnya menjadi solusi yang diharapkan seluruh mahasiswa. Di tengah krisis ekonomi ini, pendidikan mahasiswa harus tetap berjalan. Jangan sampai pendidikan berhenti karena mahasiswa tidak sanggup membayar biaya kuliah.
Sebagai respon dari kondisi pandemi covid-19, pada semester sebelumnya, UIN Walisongo telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk meringankan beban mahasiswa. Di antaranya berbentuk penurunan UKT sebesar 15 persen, angsuran dua kali dan perpanjang waktu pembayaran. Selain itu ada juga bantuan dana muawanah sebesar Rp. 500.000 dan kuota internet untuk kebutuhan perkuliahan mahasiswa saat kuliah online.
Namun sebagian mahasiswa merasa tidak puas dengan kebijakan ini. Pasalnya proses pengajuan keringan UKT dinilai sulit, karena banyak dokumen persyaratan yang harus dipenuhi. Bahkan karena persyaratannya yang rumit ini, mahasiswa memilih tidak mengajukan keringanan. Selain itu, potongan UKT sebesar 15 persen dinilai tidak sebanding dengan hak yang mahasiswa dapatkan selama kuliah online. Belum lagi tidak semua mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT mendapatkannya.
Selama kuliah online, mahasiswa tidak mendapatkan fasilitas kampus seperti halnya kuliah tatap muka. Mahasiswa tidak menggunakan ruang kelas, jaringan wifi, maupun fasilitas kampus lainnya. Fasilitas satu-satunya yang paling dibutuhkan mahasiswa adalah kuota internet. Namun terkait bantuan kuota internet, sebagian mahasiswa merasa terlalu sedikit, pembagiannya tidak merata, dan diberikan ketika akhir perkuliahan. Bahkan sebagian mahasiswa juga tidak mendapatkan bantuan kuota internet dari kampus sama sekali.
Belum lagi, bantuan kuota sebesar 15 GB yang diberikan tidak cukup untuk kebutuhan belajar mahasiswa satu semester. Pasalnya kuliah online lebih banyak menggunakan medium konferensi video seperti aplikasi Zoom dan Google Meet yang tentunya menghabiskan banyak kuota. Sementara dalam sehari ada dua sampai tiga mata kuliah, di mana durasi satu mata kuliah bisa mencapai 100 menit. Untuk mengikuti kuliah online, mahasiswa lebih banyak menggunakan kuota pribadi yang ia beli sendiri.
Melihat problematika seperti ini, sudah semestinya kampus memberikan respon positif dengan menetapkan kebijakan yang dapat menjadi solusi bagi masalah mahasiswa. Tentunya tidak lain agar mahasiswa dapat melanjutkan kuliah dan mendapatkan hak pendidikan meskipun berada dalam krisis dampak pandemi covid-19.
Namun yang masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kebijakan yang ditetapkan kampus sudah menjawab problematika ini?
KOMENTAR