Keraguan mencirikan status di mana pikiran tetap tertahan di antara dua proposisi yang kontradiktif dan tidak dapat menyetujui salah satunya.
Keraguan pada tingkat emosional adalah keragu-raguan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Keraguan selalu melibatkan ketidakpastian, ketidakpercayaan, atau kurangnya kepastian atas fakta yang dituduhkan, termotif, atau atas keputusan itu sendiri.
Keraguan selalu mempertanyakan gagasan tentang "kenyataan" yang dirasakan, dan mungkin melibatkan penundaan atau penolakan tindakan yang relevan karena kekhawatiran akan kesalahan atau kesesuaian.
Keraguan dalam hal ini adalah kita tahu dan merasa (secara emosional) bingung akan sesuatu yang kita hadapi atau akan kita jadikan jalan mengambil keputusan.
Di sini, keraguan yang dimaksud adalah hal yang sifatnya ragu dalam hal yang terbaik buat kita secara mendasar.
Setelah itu, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dalam keraguan adalah unsur dilematis. Dilema bermakna masalah yang menawarkan dua kemungkinan, tidak ada satupun yang dapat diterima atau disukai secara jelas.
Ketika sudah melewati dasar pengetahuan tentang ragu, kita semakin sadar pada unsur dilematis (semakin jelas dua hal itu), yang menimpa kita, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menjadi langkah maju bagi kita yang jarang kita sadari.
Seseorang yang ada di dalam posisi ini secara tradisional digambarkan sebagai "berada di tanduk dilema"; tidak ada zona yang nyaman.
Contohnya begini; Kamu adalah seorang penulis di lembaga jurnalistik. Kemudian kamu ragu antara memilih menulis berita ataukah artikel untuk ditulis. Selanjutnya, setelah ragu itu, kamu harus menentukan dua hal itu lebih mendalam lagi (menjadi dilema); mana yang lebih dulu saya pilih untuk ditulis. Dilema lebih menjurus pada prioritas.
Bagaimana agar problem keraguan dapat terselesaikan terutama saat kita sudah sadar akan dilema yang dihadapi?
Bagaimana dengan orang yang diserang keraguan yang justru menjadi menyerah dengan keadaan yang dihadapi?
Satu-satunya cara agar dua pertanyaan tersebut bisa terjawab adalah dengan kita tidak stuck pada kondisi yang terjadi. Kesadaran akan dilematis adalah step awal yang baik, yang sebenarnya sudah menjawab arah yang sebelumnya terlihat tebal kabut keraguan itu (blocking).
Dua hal yang dilematis tinggal kita pilih mana yang terbaik. Terbaik maksudnya adalah prioritas buat kita. Dua hal itu perlu untuk dilakukan aksi sebagaimana kamu mendapatkan dua hal yang dilematis.
Bedah dan analisa dua hal tersebut, -sesuai dengan visi, misi, value- yang kamu miliki, kejar, dan yang akan kamu dapatkan (manajeman prioritas dalam dilema). Lalu, bikin dilema-dilema baru lagi sampai kamu bisa mengukur yang sudah paling sesuai dengan prioritasmu.
Selanjutnya, mengapa banyak orang lari setelah ragu, hal tersebut adalah menunjukkan begitu tebal mental blocking dari seseorang untuk mendapatkan dirinya menjadi lebih maju atau meningkatkan dirinya. Yang artinya mendapati keraguan tergantung pada pemaknaan; bisa positif dan bisa negatif.
Solusinya apa? Sadar dan terus melangkah "mengerjakan sesuatu" meskipun dari dalam pikiran. Diantaranya adalah memperoleh dilema itu sendiri. Maksudnya di sini adalah "Kerjakan" tapi bukan yang "Asal-asalan".
Yang perlu diwaspadai dalam misi ini adalah "Snap Judgment"; keputusan terburu-buru yang dibuat dengan cepat tanpa berpikir. Pendapat cepat tanpa pertimbangan yang matang.
"Kesulitan dengan dunia ini adalah orang bodoh yang merasa yakin, sedangkan orang cerdas selalu diliputi rasa ragu-ragu" kata Betrand Russell.
Jadikan ragu-ragumu sebagai kapal perangmu untuk meraih kemenanganmu. Bukan membuatnya menjadi tumor yang membuatmu menderita.
[Rina]
KOMENTAR