Begitulah Niccolo Machiavelli menggambarkan realitas politik. Ia seperti merekam potret cara pemimpin negara yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Machiavelli tidak bicara tentang teori-teori politik yang berada pada ranah idealisme yang bersifat abstrak. Melainkan memandang politik dari sudut pandang realisme, memisahkan antara yang nyata dari yang ideal.
Machiavelli adalah seorang pemikir politik zaman Pencerahan Eropa yang terkenal dengan teorinya yang kontroversial. Bahkan pemikirannya sering dianggap setan karena menganggap moralitas tidak penting dalam urusan politik. Kecuali jika moralitas membantu untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Pemikirannya dipengaruhi oleh keadaan politik yang terjadi di Kota Florence Italia pada abad ke-15. Pada saat itu dikuasai oleh Dinasti De Medici yang berkuasa dengan tangan besi. Di bawah kekuasannya Italia memiliki peradaban yang sangat urban dan sekuler hingga Italia menjadi negara yang kuat karena gaya kepemimpinannya yang keras. Saking kuatnya dinasti De Medici, sampai-sampai tak seorangpun dari warga Italia yang berani menantangnya.
Italia di bawah Dinasti De Medici menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemikiran Machiavelli. Hegemoni kekuasaan yang dipraktikkan De Medici membuat Machiavelli sadar bahwa dalam politik kekuasaan, pendekatan normatif bahkan normatif keagamaan tidak bisa ditempatkan sebagai pedoman. Di sinilah cikal bakal munculnya teori kekuasan dan negara Machiavelli yang kontroversial itu. Ia secara tegas juga menolak teori sebelumnya yang dikumandangkan oleh Thomas Aquinas maupun St Augustinus, terutama penyatuan antara urusan agama dan urusan negara.
Faktor lain yang mempengaruhi Machiavelli adalah peristiwa Vitelli. Vitelli adalah nama seorang pemimpin tentara bayaran. Masalah yang terjadi pada saat itu adalah maraknya penggunaan tentara bayaran dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Ketika Florence dengan tentara bayaran ingin merebut Pisa, tentara bayaran tersebut menghentikan penyerangan, karena Pisa ternyata memberikan bayaran lebih mahal terhadap tentara tersebut.
Machiavelli menuangkan buah pemikirannya ke dalam buku berjudul The Prince. Dalam buku tersebut digambarkan cara-cara agar seseorang dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan negara. Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.
Untuk memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kacamata etis, tetapi dengan kacamata medis. Pada saat itu, Italia tengah menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Maka negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhiatan harus diamputasi sebelum ia menginfeksi seluruh negara.
Machiavelli memandang kekuasaan bukanlah semata-mata untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kehormatan dan kesejahteraan negara. Dalam mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa harus tetap memperhatikan situasi dan kondisi di negaranya. Jangan sampai melakukan kesalahan dalam mengambil tindakan politik.
Machiavelli bahkan melegalkan cara-cara keji dan tidak baik untuk bisa mendapatkan kekuasaan. Namun hal ini hanya akan menjadikannya sebagai penguasa yang hanya berkuasa saja, bukan yang dihormati. Adapun negara yang maju harus dibentuk oleh satu orang, hukum aturan, dan pemerintah yang diciptakannya menentukan watak nasional daripada bangsanya.
Meskipun pemikiran Machiavelli dianggap anti terhadap moral, namun banyak orang yang terinspirasi untuk bisa mencapai tujuan politiknya. Bahkan karyanya The Prince banyak yang menjadikannya sebagai buku panduan dalam karir politik. Bukan hanya individu, banyak golongan pula seperti partai politik maupun organisasi politik lainnya yang menjadikannya sebagai hand book. Hal ini karena teori kekuasaan yang digagas Machiavelli berfokus pada ranah realisme yang bersifat praktis, bukan idealisme yang abstrak dan moralis.
[Mahfud]
KOMENTAR