"Kesadaran tentang diri, menghayati asal muasal kita ada di dunia, akan mengantarkan kelemahan dan ketidaktahuan kita kepada Sandaran (Allah SWT)"
Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah, ketika menguraikan makna surat Al-Fatihah menjelaskan, untuk membangun kesadaran kehambaan kepada Allah SWT, yang paling pertama harus dilakukan adalah memikirkan tentang diri kita, tentang asal-usul, keistimewaan, dan alasan di balik penciptaan kita.
Kesadaran akan penghambaan ini menjadi bekal dalam menyempurnakan ibadah. Baik ibadah mahdhah (shalat, puasa, dll) maupun yang lainnya. Menyempurnakan ibadah, secara tidak langsung juga mengamini kekuasaan dan keesaan Allah SWT.
Selain itu, Quraish Shihab juga menjelaskan, untuk membuat ibadah kita sempurna, kita harus menghadirkan Allah dalam hati dan pikiran kita. Melakukan suatu hal seakan kita sedang melihat-Nya. Kalau tidak bisa melihat-Nya dan kita memang tidak bisa melihat-Nya kita bisa menghadirkan kebesaran Allah SWT. Jika tidak bisa, yakinkan diri bahwa Dia melihat kita.
Meraih kesempurnaan dalam beribadah juga bisa diusahakan melalui ajaran Islam terkait kebersamaan. Keakuan yang ada pada diri harus melebur di dalam kebersamaan. Seperti yang diuraikan Quraish Shihab dalam menafsiri Al-Fatihah ayat lima; Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
Meskipun dalam praktinya ibadah dilakukan sendirian, arti "kepada-Mu kami" dalam ayat tersebut memaknakan bahwa manusia selalu tidak bisa luput dari kesalahan. Kata "kami" merujuk pada ikatan persaudaran yang terhubung antara setiap makhluk.
Makna "kami" di sini tidak hanya berbatas lingkaran pergaulan sehari-hari, tetapi lebih pada bentuk dari "kami" yang lebih luas; seluruh ciptaan yang menyembah dan bersujud kepada Allah SWT. Jika ada kealpaan dalam beribadah, bisa ditutupi oleh "yang melakukan ibadah lebih baik" seperti ulama, nabi, maupun malaikat.
Rahasia di Balik Pengulangan Kata "Iyyaka" dalam Surat Al-Fatihah
Pengucapan Iyyaka yang berulang dalam ayat ke-5 ini mengandung makna pengkhususan. Seperti yang dijelaskan Quraish Shihab, jika kata yang memiliki arti "hanya kepada-Mu" diucapkan hanya satu kali, ditakutkan terjadi pembiasan makna. Bahwa hanya Allah yang kita sembah, tetapi dalam meminta pertolongan bisa kepada selain Allah SWT.
Sehingga untuk menekankan bahwa menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah semata, keberadaan kata Iyyaka menjadi esensial untuk diucapkan berulang di dalam ayat tersebut.
Kemudian, memaknai kata Na'budu dalam ayat ke-5 surat Al-Fatihah yang berasal dari kata 'abada yang memiliki tiga makna. Hamba sahaya, tombak, dan memiliki aroma yang harum.
Hamba sahaya bisa dimaknai sebagai hamba yang memiliki atasan. Dalam konteks ketuhanan, bisa juga disebut sebagai abdullah (hamba Allah), yang menjalankan perintah dan tidak melakukan yang dilarang oleh Tuhannya. Seorang hamba yang baik akan selalu melakukan kegiatan yang hanya dikendaki oleh Allah SWT. Serta selalu meminta izin-Nya sebelum melakukan suatu hal dengan mengucap kalimat Insya Allah.
Sedangkan 'abada dalam artian tombak (alat), menyiratkan bahwa manusia menjadi alat Tuhan. Sebagai contoh, ketika kita mendapatkan musibah (meski tidak berbuat salah), Tuhan sedang menjadikan kita alat untuk mengingatkan orang lain. Dan Tuhan menjanjikan balasan yang baik dari apa yang terjadi.
Seorang yang beribadah kepada Allah, juga harus memberi aroma harum untuk lingkungannya. Ketaatan kepada Allah tidak lantas menciptakan keeksklusifan diri dari kehidupan di sekitanya, tetapi justru menyerbakkan keharuman itu pada semua yang hidup.
Makna Tawakal dalam Al-Fatihah
Segala yang hidup, tidak mungkin bisa terhindar dari sunnatullah (hukum sebab akibat) yang diatur oleh Allah SWT. Ini terkait dengan makna pertolongan dalam kalimat "wa Iyyaka Nasta'in (dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan)".
Seperti yang diuraikan oleh Quraish Shihab, makna tawakal tidak serta merta hanya meminta dan menunggu uluran tangan dari "Sandaran". Sebelum meminta pertolongan kepada Allah SWT, setiap hamba diajari untuk berusaha lebih dahulu dan melakukan sampai batas yang bisa diperjuangkan.
Memaknai "hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan", bukan berarti menjadi seruan untuk tidak boleh menerima pertolongan dari sesama kita (manusia). Justru dari ayat ini, hukum sebab-akibat itu berlaku. Seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw, "Allah mau menolong seorang hamba, ketika hamba tersebut mau menolong sesamanya," (HR Muslim).
Keberhasilan ketika kita menolong orang lain atau orang lain yang menolong kita, tidak begitu saja terjadi. Ada kehendak dan campur tangan Tuhan di dalamnya. Pertolongan itu bersifat perantara, dan sumber pertolongan yang utama hanya datang dari Allah SWT.
Selain sunnatullah, di dalam dunia ini juga terdapat innayatullah (hal-hal yang terjadi di luar hukum sebab-akibat). Seperti halnya selamat dari suatu musibah yang dari nalar sunnatullah, tidak mungkin bisa terjadi. Menurut penjelasan Quraish Shihab, di sinilah pentingnya kita mengucapkan "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in". Selain menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT, terdapat celah di balik makna yang tesirat dari ayat ini.
Bahwa menghamba dan meminta pertolongan kepada Allah, tidak sekedar neminta perlindungan dari apa yang nampak dan diketahui. Tetapi juga dari rahasia langit yang tidak mungkin kita sebagai manusia yang teramat kecil, bisa menembus untuk melihatnya meski hanya secercah.
KOMENTAR