Awal November 2020 kemarin, masyarakat Indonesia digegerkan dengan tersebarnya video syur yang diduga dilakukan oleh beberapa artis. Kasus video-video syur ini terus memenuhi dinding media sosial (medsos) dan mode pencarian setiap harinya. Bahkan sampai menutup kasus-kasus yang sebelumnya juga sedang menjadi perbincangan. Baik politik, ekonomi, maupun dunia medis.
Kemunculan video-video syur ini terjadi beruntun sehingga membuat publik heboh dan trending di berbagai platform medsos. Diawali dengan munculnya video syur yang diduga mirip Gisella Anastasya. Satu hari setelah video mirip Gisella tersebar, kembali muncul video syur yang diduga mirip Jessika Iskandar, dan video mirip Anya Geraldine di hari berikutnya.
Selama satu bulan, pembahasan terkait konten pornografi tidak terbendung. Komentar-komentar berbau seksisme pun banyak bermunculan. Mulai dari komentar terkait bentuk tubuh, status sosial sang artis, termasuk menyinggung perihal norma dan akhlak. Fenomena kalimat "19 detik" pun sering digunakan dalam candaan untuk mengkonotasikan sesuatu yang berbau pornografi.
Saking banyaknya komentar yang menyudutkan dirinya, artis Gisella sampai mengkasuskan video tersebut ke pihak berwajib atas dasar pencemaran nama baik. Kasusnya berjalan, polisi bahkan berhasil menangkap dua orang pelaku penyebar video tersebut, dan komentar netizen pun masih terus berlanjut.
Respon masyarakat yang begitu menggebu dan selalu melayangkan komentar di akun medsos sang artis, menunjukkan bagaimana masyarakat begitu tertarik dengan isu-isu seperti ini. Bahkan, kasus peredaran video syur ini dianggap sebagai pemersatu bangsa oleh beberapa netizen.
Meskipun banyak yang memberikan kometar "nyinyir" terhadap sang artis, ramainya pencarian link video ini juga tidak dipungkiri karena adanya ketertarikan untuk menonton dan memposisikan diri sebagai penikmat video berbau pornografi. Tidak sedikit pula yang ikut menyebarkan link video ke berbagai medsos, termasuk membagikannya di laman story-nya.
Padahal di dalam peraturan perundang-undangan sudah jelas adanya sanksi bagi siapa saja yang menyalahgunakan akun medsosnya. Di dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono mengungkapkan, pelaku yang sudah melanggar Undang-undang tersebut akan diberi ancaman hukuman selama 6 tahun penjara (detik.com, 07/11/2020).
Terlepas dari kebenaran siapa yang ada di dalam video tersebut yang belum terungkap, obrolan di platform medsos terus ramai. Netizen dalam menilai kasus ini dengan banyaknya pihak terlibat, cenderung mengarah ke penyalahan kepada sang artis. Apalagi artis terduga tersebut perempuan. Yang sering dikonotasikan sebagai makhluk lemah dan hanya mengedepankan perasaan atau emosinya saja.
Ketika fenomena seperti ini muncul ke publik, masyarakat masih sering terjebak di dalam pemikiran dan komentar-komentar seksisme, tanpa mengetahui lebih jauh bagaimana informasi tersebut bisa naik. Seksisme menurut para psikolog, sering berbentuk penilaian atau penghakiman yang mengarah ke penyalahan terhadap perempuan. Ideologi ini mempromosikan prasangka atau diskriminasi seks dan gender yang menyasar pada subordinasi perempuan (sosiologi.com, 13/07/20).
Hal ini juga tidak terlepas dari biasnya pemahaman masyarakat terkait seks dan gender. Ketika gender masih dianggap hanya "kata lain" dari seks (jenis kelamin secara biologis), stigma yang ada akan terus berlangsung pada ranah "segala hal menjadi tabu" untuk perempuan. Sehingga, ketika ada suatu tindakan yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku, perempuan akan terus menjadi sasaran utama kemarahan masyarakat.
Berbeda ketika mindset yang berlaku di tengah masyarakat bergeser ke ranah post-seksime, yang tidak terlalu mengurusi perihal jenis kelamin. Status sosial di ruang publik tidak lagi memberatkan apakah laki-laki atau perempuan. Baik dan buruk dari apa yang dilakukan seseorang, didapat dari proposisi penilaian yang seimbang.
Masyarakat yang menganut post-seksisme juga akan meninggalkan budaya pergunjingan berbasis pornografi. Selain itu, masyarakat memiliki ukuran objektif atas privasi maupun tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang. Tidak selalu ikut campur dan mengurusi urusan orang lain yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Bercermin dari kasus kemarin, sepertinya bagaimana kita berpikir dan merespon fenomena tersebut masih belum bisa lepas dari lingkaran seksisme. Meskipun sifatnya berantai dengan meniru tindakan orang lain dan tergugah untuk melakukan hal yang sama. Jika tindakan seperti itu masih saja terus berlanjut, bagaimana kita akan maju menjadi masyarakat yang berpengetahuan dan berpikiran terbuka?
[Pen]
KOMENTAR