“Kasus intoleransi tidak bisa dipandang sebelah mata!”
Ungkapan tersebut disampaikan oleh pendeta Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Banyuwangi, Kristanto. Ketika dihadapan para peserta dari Workshop Pers Mahasiswa yang diadakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Di saat yang sama juga, Fredriech Naumann Foundation (FNF), dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) ikut bergabung dalam acara yang diselenggarakan pada Selasa, 09 November 2020 lalu.
Kristanto bahkan tidak menampik banyaknya kasus intoleransi seperti pelarangan pembangunan rumah ibadah. Tidak terkecuali di wilayah Jawa Timur. Salah satunya terkendala ketika perizinan untuk membangun beberapa gereja di daerah tersebut. Ia mengatakan keprihatinannya tentang kondisi seperti itu karena jika terus terjadi bisa saja memecah-belah bangsa.
Hal ini dibuktikan dengan jumlah rumah ibadahnya di Indonesia. Masjid menempati urutan pertama yang paling banyak berdiri hingga mencapai angka 296.797 unit di tahun 2016. Jumlah ini berbeda dengan jumlah gereja Kristen Protestan yang malah mengalami penurunan. Sampai tahun 2016 sendiri, tercatat hanya sebanyak 57.166 unit saja gereja Kristen Protestan yang berhasil dibangun. tirto.id (16/05/19).
Untuk menanggapi maraknya kasus intoleransi di Indonesia sendiri, pendeta asal Tulungagung itu berharap masyarakat di berbagai daerah bisa mencontoh dari perilaku toleransi dari banyuwangi. Antara masyarakat, perlu adanya komunikasi intens dan membangun interkasi yang baik antar sesama.
Dengan melakukan kegiatan secara bersama-sama seperti ketika pembacaan Babad Tawang Alun. Tradisi ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat penganut agama Islam saja, namun juga oleh elemen lintas agama dan etnis maupun budayanya. Kegiatan ini diisi dengan kumpul bersama dan melantunkan tembang-tembang penuh kedamaian.
Babad Tawangalun merupakan karya sastra dengan penulis anonim dan menceritakan Kerajaan Blambangan bertahan dari penjajahan. Tak hanya Belanda yang berusaha menundukkan Blambangan, kerajaan lain di Nusantara pun juga. Di antaranya Mataram, Pasuruan, Madura, dan Bali. Babad ini menyuguhkan kisah yang kaya tentang Kerajaan Blambangan selama kurang lebih dua abad. Dari sejarah pendirian, masa kejayaan, intrik perebutan tahta, hingga keruntuhannya. Kumparan.com (31/12/19).
Suhalik, penggagas pembacaan syair ketika Babad Tawangalun mengatakan jika tradisi ini diharapkan bisa membuka lembaran baru di kingkungan masyarakat Banyuwangi supaya bisa lebih menghargai adanya perbedaan.
“Mari mengubur (permusuhan) masa lalu dan membuat lembaran sejarah baru yang menghargai perbedaan. (Dengan cara) merajut kebersamaan, mengorganisir teman-teman dalam membaca bersama Babad Tawangalun,” katanya.
Selain itu, keberhasilan Banyuwangi lainnya dari meminimalisir kasus intoleransi tidak terlepas dari adanya kegiatan rumah ibadah yang selalu menggaungkan toleransi. Salah satunya, ketika event dari peringatan Hari Pancasila, GKJW turut menggandeng lembaga non-Kristen untuk ikut berpartisipasi didalamnya.
Pemuda gereja dan berbagai lembaga yang dinaungi oleh pemuda muslim maupun yang lainnya bersatu menjalin persaudaraan di setiap event apapun. Kegiatan yang diisi dengan do'a bersama, pentas seni, dan diskusi kebangsaan tersebut, dilakukan di salah satu gereja disana. Dengan ini adanya rumah ibadah juga berperan untuk membawa kedamaian dan kerukunan antar umat beragama.
Jika dilihat lebih dalam lagi, problem soal intoleransi di Indonesia lebih cenderung mengarah ke permasalahan deskriminasi antara suku, ras, agama, dan lain-lain. Namun, hal ini malah masih kurang perhatian di Indonesia, padahal publikasian seperti ini bisa mengusahakan harmonisasi, tolerandi, dan juga perdamaian. Terlebih pada sesama warga negara dari kelompok-kelompok minoritas dan rentan.
Kebanyakan, kasus-kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam hal ini, masyarakat yang merasa mayoritas di Indonesia sering menjadi sorotan terkait kasus-kasus intoleransi.
Sikap dan aksi intoleransi itu mulai dari penolakan pembangunan tempat ibadah, pembubaran ibadah, perusakan tempat ibadah hingga kasus-kasus penentangan bahkan penyerangan terhadap budaya dan tradisi lokal yang dianggap menyalahi ajaran agama yang dianut mayoritas.
Sebagai contoh, adanya penolakan pembangunan gereja oleh warga Dukuh Jetis, Desa Gadingan RT 04 RW 03, Mojolaban, Sukoharjo. Dengan kompak mengumpulkan 60 tanda tangan agar gereja tida jadi berdiri di wilayahnya. Hal itu juga didukung oleh pihak takmir masjid di seluruh desa untuk mendukung aksi tersebut. Jateng.suara.com (30/10/20).
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengungkapkan bahwa, "Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan dan kasih sayang?"
Dari pertanyaan Gus Dur tersebut merepresentasikan bahwa intoleransi menyebabkan pupusnya suatu moralitas. Sebenarnya, bukan mustahil tindakan intoleransi bisa dicegah, apalagi di Indonesia.
Peran Jurnalis dan Pemuda Hadapi Darurat Intoleransi
Menurut Produser Kompas TV Budhi Kurniawan, intoleransi hari ini semakin tak terbendung. Terlebih di ranah media sosial (medsos). Informasi dengan narasi memojokkan salah satu pihak kerap kali digunakan oleh orang yang memiliki tingkat fanatisme tinggi, dukungan terhadap sekularisasi yang rendah, perasaan terancam dan ketidakpercayaan pada kelompok lain.
“Medsos dipakai menyebarkan intoleransi sebab digunakan hampir semua kalangan, memiliki arus informasi yang cepat dan diterima masyarakat tanpa cross check mendalam. Sehingga mau tidak mau peran jurnalis dalam menghadapi kasus intoleransi sangat dibutuhkan mengingat memiliki peran agent of control,” ungkapnya.
Sebagai jurnalisme, memiliki fungsi menghentikan konflik yang sedang terjadi. Namun masih dalam aturan kode etik ke-jurnalis-an. Yakni, menggambarkan sesuai dengan fakta dan juga dapat menimbulkan semangat perdamaian antar agama, suku, ras, bahkan gender di Indonesia.
Bukan hanya jurnalis, peran anak muda dalam bermedia juga sangat berpengaruh dalam membangun toleransi. Hal ini tak terlepas dari dominasinya dalam bermedia sosial. Dengan kondisi media sosial yang sudah dibanjiri oleh anak muda, Penanganan terhadap permasalahan ini bisa memanfaatkan media sosial untuk share informasi dan ajakan dalam membangun tolerandi di tengah keberagaman.
[Zam]
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
KOMENTAR