NAMA aslinya Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina, lahir pada 370 H/980 M di Negeri Persia (Iran). Ibnu Sina atau Avicenna tertarik mempelajari berbagai bidang keilmuan sejak kecil. Tatkala menginjak masa anak-anak, ia sudah belajar ilmu tafsir, tasawuf, matematika, logika, bahkan menyelesaikan hafalan al-Qur’an di usia 10 tahun.
Ibnu Sina juga sudah sanggup belajar serta menerangkan kembali isi buku Isagoge karya Prophyry (ilmu logika), Euclid (ilmu geometri), al-Magest karya Ptolomeus (ilmu astronomi) di bawah bimbingan gurunya, Abu Abdellah Natili. Ditambah pula asupan buku-buku metafisik karya Plato dan Aristoteles.
Ibnu Sina, ilmuwan muslim yang hidup semasa Dinasti Samaniyah populer akan dedikasinya terhadap dunia kedokteran dan kesehatan. Salah satu karya fenomenalnya di bidang kedokteran ialah kitab al- Qanun fi at-Thibbi (Canon Medicine). Kitab yang mengkaji kaidah umum ilmu kedokteran, obat-obatan, serta jenis penyakit, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12.
Kemudiian terbitlah terjemahan berikutnya dalam bahasa Jerman, Prancis, Inggris. Sampai sekarang kitab al- Qanun fi at-Thibbi telah menjadi rujukan utama ilmu kedokteran paling otentik. Selain itu, adapula karyanya terkait ilmu medis, seperti: al-Urjuzah fii at-Tibbi, al-Adwiyah al-Qolbiyah, dan asy-Syifa (The Book of Healing). Dengan karya-karya besarnya itu, tak heran bila Ibnu Sina dikatakan sebagai Bapak Kedokteran Muslim.
Meski begitu, Ibnu Sina ternyata juga menguasai ilmu logika, fisika, psikologi, politik, musik, sastra dan filsafat. Sejumlah karya sastranya berupa puisi serta syair; puisi al-Qasidah al-Muzdawiyyah, puisi al-Qasidah al-‘Ainiyyah, syair Hayy ibn Yaqzhan, Risalah ath-Thair, Risalah fi Sirr al-Qadar, Risalah fi al-‘Isyq, dan Tahshil as-Sa’adah. Bahkan dalam dunia filsafat Ibnu Sina mendapat gelar asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja).
Ia disejajarkan juga dengan al-Ghazali, al-Kindi, al-Farabiy, Ibnu Tufayl, sebagai seorang filsuf muslim. Salah satu pemikiran filsafatnya yaitu bahwa nabi merupakan manusia pilihan Tuhan yang terunggul. Seorang filsuf menerima ilham dari Tuhan namun nabi dapat menerima wahyu Tuhan. Maka ajaran yang dibawa nabi haruslah menjadi pedoman bagi umat manusia.
Karena kecerdasan Ibnu Sina menguasai ilmu kedokteran, ia berhasil mengobati para pasien. Cerita yang paling terkenal serta banyak diulas media yakni saat keberhasilan Ibnu Sina mengobati derita sakit parah penguasa pemerintahan Dinasti Samaniyah, Amir Nuh bin Nasr. Setelah itu, Ibnu Sina diangkat menjadi orang kepercayaan sehingga diberi akses perpustakaan besar oleh Nasr.
Meskipun Ibnu Sina sempat dipojokkan karena kedekatannya dengan Nasr membuat sebagian pihak istana cemburu hingga menjadi tokoh paling disalahkan atas kebakaran perpustakaan besar, tetapi semangat belajar, mengembangkan ilmu tak pernah luntur. Masa kejayaan Islam pada dinasti ini sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Buku-buku bahasa asing diterjemahkan, pendirian lembaga pendidikan digiatkan, juga mendatangkan guru asing oleh pihak kerajaan. Tak ayal apabila banyak cendekiawan muslim lahir pada Dinasti Samaniyah, Persia dikarenakan orang-orang kala itu berlomba-lomba dalam menimba ilmu.
[Rida]
Ibnu Sina juga sudah sanggup belajar serta menerangkan kembali isi buku Isagoge karya Prophyry (ilmu logika), Euclid (ilmu geometri), al-Magest karya Ptolomeus (ilmu astronomi) di bawah bimbingan gurunya, Abu Abdellah Natili. Ditambah pula asupan buku-buku metafisik karya Plato dan Aristoteles.
Ibnu Sina, ilmuwan muslim yang hidup semasa Dinasti Samaniyah populer akan dedikasinya terhadap dunia kedokteran dan kesehatan. Salah satu karya fenomenalnya di bidang kedokteran ialah kitab al- Qanun fi at-Thibbi (Canon Medicine). Kitab yang mengkaji kaidah umum ilmu kedokteran, obat-obatan, serta jenis penyakit, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12.
Kemudiian terbitlah terjemahan berikutnya dalam bahasa Jerman, Prancis, Inggris. Sampai sekarang kitab al- Qanun fi at-Thibbi telah menjadi rujukan utama ilmu kedokteran paling otentik. Selain itu, adapula karyanya terkait ilmu medis, seperti: al-Urjuzah fii at-Tibbi, al-Adwiyah al-Qolbiyah, dan asy-Syifa (The Book of Healing). Dengan karya-karya besarnya itu, tak heran bila Ibnu Sina dikatakan sebagai Bapak Kedokteran Muslim.
Meski begitu, Ibnu Sina ternyata juga menguasai ilmu logika, fisika, psikologi, politik, musik, sastra dan filsafat. Sejumlah karya sastranya berupa puisi serta syair; puisi al-Qasidah al-Muzdawiyyah, puisi al-Qasidah al-‘Ainiyyah, syair Hayy ibn Yaqzhan, Risalah ath-Thair, Risalah fi Sirr al-Qadar, Risalah fi al-‘Isyq, dan Tahshil as-Sa’adah. Bahkan dalam dunia filsafat Ibnu Sina mendapat gelar asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja).
Ia disejajarkan juga dengan al-Ghazali, al-Kindi, al-Farabiy, Ibnu Tufayl, sebagai seorang filsuf muslim. Salah satu pemikiran filsafatnya yaitu bahwa nabi merupakan manusia pilihan Tuhan yang terunggul. Seorang filsuf menerima ilham dari Tuhan namun nabi dapat menerima wahyu Tuhan. Maka ajaran yang dibawa nabi haruslah menjadi pedoman bagi umat manusia.
Karena kecerdasan Ibnu Sina menguasai ilmu kedokteran, ia berhasil mengobati para pasien. Cerita yang paling terkenal serta banyak diulas media yakni saat keberhasilan Ibnu Sina mengobati derita sakit parah penguasa pemerintahan Dinasti Samaniyah, Amir Nuh bin Nasr. Setelah itu, Ibnu Sina diangkat menjadi orang kepercayaan sehingga diberi akses perpustakaan besar oleh Nasr.
Meskipun Ibnu Sina sempat dipojokkan karena kedekatannya dengan Nasr membuat sebagian pihak istana cemburu hingga menjadi tokoh paling disalahkan atas kebakaran perpustakaan besar, tetapi semangat belajar, mengembangkan ilmu tak pernah luntur. Masa kejayaan Islam pada dinasti ini sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Buku-buku bahasa asing diterjemahkan, pendirian lembaga pendidikan digiatkan, juga mendatangkan guru asing oleh pihak kerajaan. Tak ayal apabila banyak cendekiawan muslim lahir pada Dinasti Samaniyah, Persia dikarenakan orang-orang kala itu berlomba-lomba dalam menimba ilmu.
[Rida]
KOMENTAR