
Masih terekam dengan jelas dalam ingatan masa kecil hingga remaja saya. Sebuah kondisi kampung yang warganya rukun, saling bahu-membahu membangun kerajaan ekonomi bersama. Kerajaan yang terletak di ujung timur pulau Madura ini berwujud pohon tembakau yang luasnya berhektar-hektar dengan aneka tanaman lain di pinggir sawah para warga.
Pada awal tahun 2000-an hingga menjelang tahun 2010 menjadi pemandangan biasa bagi saya jika terdapat warga yang merawat tanaman tembakau mereka sejak matahari belum terbit hingga akan terbit kembali esok harinya. Pada saat itu, usaha tanam tembakau seolah menjadi primadona tanpa kehabisan pesona sepanjang musim kemarau. Barangkali terdapat hubungan fenomena ini dengan ungkapan Huub de Jonge dalam Madura in Four Periods, Merchants, Economic Deevelopment, and Islam: An Economic Anthropology Study, bahwa sejak masuk ke Asia, tembakau menjadi komoditi terpenting setelah beras.
Sebelum hari benar-benar memulai geliatnya, para warga di kampung saya sudah berpencar menuju sawah untuk menyiram tanaman tembakau mereka. Perilaku ini dapat dipahami sebab sumber air yang digunakan untuk mengairi tembakau biasanya terbatas dan memerlukan pembagian yang adil di antara para warga. Seolah menjadi ritme sosial harmonis, masing-masing dari penduduk kampung akan mengerti waktu-waktu kapan mereka harus mengairi tanaman ataupun berhenti untuk memberikan kesempatan kepada penduduk lainnya.
Kegiatan merawat tembakau tidak terbatas pada proses pengairan semata. Petani di desa saya akan melakukan berbagai ‘jihad tanaman’ untuk menjaga proses tumbuh tembakau yang dimiliki pada musim-musim kemarau tetap berlangsung baik. Kegiatan mereka salah satunya adalah menghindarkan tembakau dari hama yang mayoritas berbentuk ulat hijau khas dan biasanya hanya ditemui pada tanaman tembakau.
Dari proses penjagaan tembakau dari serangan hama ini kemudian pembagian tugas dalam sebuah keluarga menjadi penting. Pada masa-masa itu, saya teringat akan salah satu tugas rutin sebelum berangkat ke SD desa adalah membersihkan tembakau kami dari ulat-ulat yang kebanyakan menjangkiti daun tembakau di malam hari.
Rutinitas ini pula yang membuat penduduk lebih intens bertemu dan bersosialisasi dengan penduduk desa dengan jarak rumah berjauhan namun memiliki letak sawah saling berdekatan satu sama lain. Pagi kami seakan lebih hangat dari biasanya disebabkan cengkrama ringan khas perkampungan sebelum memulai hari dengan tuntutan lain selepasnya.
Suasana guyub semakin terasa jika sudah mulai memasuki masa panen tembakau. Mayoritas tanaman tembakau akan memasuki masa panen secara serempak dan kondisi ini mengakibatkan atmosfir yang hidup memenuhi kampung kami. Seperti ada nyawa-nyawa kebahagiaan yang ditiupkan pada tiap rumah penduduk dengan isyarat balasan setimpal akan segala usaha pada satu musim tanam. Bergegas para penduduk akan membagi waktu panen masing-masing tembakau mereka. Seluruh proses panen dilakukan secara manual oleh wajah-wajah sumringah nan penuh harap akan perolehan hasil tembakau yang bagus.
Secara bergantian penduduk yang mendapat giliran panen mempersiapkan segala sarana mulai dari tali gulungan tembakau, tikar tempat tembakau setelah dikeringkan hingga pisau besar untuk memotong tembakau menjadi potongan kecil dan halus. Bagi kami anak-anak kecil kala itu, panen tembakau merupakan bahasa lain dari makan enak. Hal ini sebab selama musim panen kami akan kecipratan makanan yang berbeda dari hari-hari biasanya. Sudah menjadi budaya dalam masyarakat Madura untuk menyuguhkan makanan bagi para warga yang membantu proses panen tembakau.
Sayang sekali, hangat suasana musim tanam tembakau yang saya gambarkan di atas kini menjadi sekedar historia. Hiruk pikuk sudut perkampungan kami sekarang sudah menyepi dan mengkerut di sudut-sudut gaya hidup berbau modernitas. Kurang jelas tepatnya sejak kapan para warga desa lebih memilih menjadi imigran dan beralih bekerja di di luar Madura atau bahkan di luar Indonesia.
Dalam ingatan kasar sebelum menuntut ilmu pada jenjang setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di luar kampung sembilan tahun lalu, saya menyaksikan banyak hasil panen tembakau yang merugi. Permainan harga para tengkulak yang tidak berpihak pada petani mematikan nafsu pertanian tembakau yang awalnya menjanjikan hasil fantastis. Sekiranya enam tahun sudah berlalu sejak terakhir saya melihat euforia musim tanam tembakau hingga kini akhirnya para petani tembakau hanya bisa dihitung jari di kampung kami.
Terlepas dari beberapa fatwa organisasi keagamaan tentang larangan tembakau sebagai antitesis dari tokoh ilmu sosial Sigmund Freud dengan tembakau kesayangannya, dari pohon tembakau saya belajar beberapa hal. Tembakau menjadi simbol manis akan eratnya persaudaraan manusia Madura dan bahkan ia menjadi sarana penyatuan keragaman. Harus diakui dengan berat hati bahwa ada yang hilang dari budaya kami sejak musim tanam tembakau perlahan menguap dari sawah para petani.
Tidak ada lagi ingar bingar perbincangan seputar tembakau dan berganti dengan rumah-rumah yang perlahan tertutup ketika senja mulai datang bertandang. Matahari memang masih terbit di atas atap kami, tetapi ia tidak lagi menemukan banyak percakapan penuh keguyuban di tangah hamparan luas tanaman tembakau.
[Syarifah Isnaini]
Penulis adalah mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
KOMENTAR