
TIK Tok menjadi aplikasi yang kini sedang digandrungi masyarakat. Lebih dari 800 juta orang pengguna aktif Tik Tok di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Beragam vidio dengan berbagai gaya juga banyak tersebar di berbagai media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan Youtube.
Aplikasi dari China ini berhasil menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Mulai dari anak-anak, pelajar, selebritis, dan bahkan politisi juga turut menggunakannya. Contohnya pejabat seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil yang sempat heboh dan trending di media sosial karena vidionya bermain Tik Tok.
Tik Tok menghasilkan berbagai video kreatif yang berdurasi singkat, mulai 15 hingga 60 detik. Namun, beberapa video di media sosial yang beredar justru mengundang ironi. Tidak sedikit vidio yang menampilkan para pelajar dengan gaya yang tidak semestinya. Menggunakan seragam sekolah, video diambil di ruang kelas, tetapi dengan jogetan vulgar dan terkesan sensual.
Ruang kelas yang pada esensinya sebagai tempat belajar digunakan sebagai ajang menunjukkan eksistensi diri di media sosial. Begitu juga seragam sekolah yang melekat pada identitas diri pelajar justru dipamerkan untuk membaut video Tik Tok yang tidak mencerminkan etika pelajar.
Guru; Digugu dan Ditiru?
Demam Tik Tok tidak hanya menjangkit para pelajar, tetapi guru di sekolah juga tidak mau ketinggalan. Terkadang mereka juga bermain bersama muridnya di kelas. Padahal dalam filosofi Jawa, guru adalah seseorang yang perkataannya didengarkan (digugu) dan orang yang menjadi panutan (ditiru).
Di lingkungan sekolah, guru menjadi sosok cerminan dan pegangan bagi murid-muridnya. Mengajarkan ilmu pengetahuan dan mendidik karakter murid menjadi manusia yang bijaksana. Namun bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Bukankah tingkah laku dan tutur kata guru selalu dilihat, dinilai, bahkan ditiru orang lain?
Guru tidak hanya ditujukan kepada mereka yang mengajar secara formal di lembaga pendidikan. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, tokoh penting dalam pendidikan Indonesia pernah berkata, "Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah."
Selain itu media pembelajaran menjadi menjadi salah satu faktor yang membentuk karakter seseorang. Di mana pun lingkungannya begitu berpengaruh terhadap perubahan diri seseorang. Entah itu di rumah, di sekolah, di masyarakat, seharusnya memberikan lingkungan yang baik sebagai proses belajar.
Tingkah Laku dan Tutur Kata
Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter, mental dan moral manusia. Proses tersebut berupa aktivitas nyata dengan memanfaatkan sebuah materi yang berkenaan dengan lingkungan sosial. Siswa dilibatkan dalam aktivitas sosial di sekolahnya. Sehingga dapat berpengaruh terhadap pembentukan karater, mental dan moral siswa.
Melihat fenomena Tik Tok seperti diatas, secara tidak langsung menunjukan krisis etika di lingungan pendidikan. Fenomena seperti itu menunjukkan realita yang tidak sesuai dengan esensi pendidikan sebenarnya.
Tidak sampai di situ saja, siswa yang seharusnya mampu melibatkan diri dalam aktivitas sosial masyarakat, justru lebih aktif di depan layar smartphone-nya untuk membuat video Tik Tok. Hal ini justru mengurangi bahakan menghambat kegiatan aktivitas masyarakat.
Lalu apa sebenarnya motif para generasi muda dalam menggunakan Tik Tok dan mengunggahnya di media sosial? Apakah sekadar mengikuti tren atau ingin menunjukan eksistensinya terhadap orang lain?
Seorang filsuf asal Jerman, Rene Descrates pernah berkata "Aku berpikir maka aku ada" menjadi hal yang patut direnungkan. Pasalnya dalam kondisi ini, akal menjadi alat utama manusia dalam bertindak. Nalar pikir yang kritis memunculkan perimbangan menerangkan jika yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah nalar berfikirnya. Eksistensi manusia dinilai bukan semata keberadaan mereka yang dinilai secara mentah mentah, tetapi bisa menggunakan nalarnya untuk menenyukan tindakannya.
Pelajar yang digadang sebagai generasi penerus bangsa, sudah semestinya menjadi figur cerdas untuk masyarakat. Etika selayaknya pelajar di lingkungan sekolah perlu mendapat perhatian. Begitu juga seorang guru, seperti semboyan bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara mengatakan Ing Ngarso sung Tuladha. Guru menjadi suri tauladan bagi orang yang ada di sekitarnya termasuk murid.
Menurut Jhon Dewey, pendidikan disebut upaya menolong manusia agar dapat berefleksi terhadap masalah yang timbul dalam masyarakar dan upaya melengkapi mereka agar menghasilkan perubahan yang nyata dalam kehidupan. Jika dalam proses pendidikan tidak ada pengaruh yang positif terhadap kondisi sosial masyarakar, maka sia-sialah Sebuah pendidikan.
Dalam hal ini, guru sosok penting untuk membimbing pelajar dan memperluas pengetahuan berpikirnya dalam menjelajah hubungan baru yang dibangunnya di atas pengetahuan yang dimiiiki sebelumnya. Dewey menekankan bahwa setiap orang dapat belajar dari pengalamaannya yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungannya. Menurut Dewey tidak diutamakan pendidikan kecerdasan, tetapi pendidikan sosial dan kesusilaan.
Kecerdasan siswa memang menjadi poin penting dari suatu pendidikan. Namun pendidikan dapat dikatakan berhasil ketika mampu membentuk siswa yang berkarakter dan bermoral. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer berkata, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
[Gita Fajriyani]
* Artikel ini pernah dimuat di Harian Tribun Jateng Edisi Kamis, 12 Maret 2020
KOMENTAR