Mozaik.inilah.com |
Namun, penafsiran terhadap-Nya mulai menemukan titik majemuk berkepentingan. Manusia mempersepsikan Tuhan seenak jidatnya. Pada ranah politik, Tuhan dipolitisasi untuk melegitimasi keputusan, di bidang ekonomi, Tuhan dijadikan merk untuk melambungkan nilai jual. Kemudian melunturlah kebersamaan dalam beragama sebab multitafsir yang didominasi ego ini.
Dalam konsep berislam yang dipahami secara utuh, Tuhan Yang Esa boleh dimaknai secara multi-personal. Karena pengalaman kebatinan spiritual tiap-tiap hamba tidak dapat digeneralisir dan dituntut penjelasan sangat mendasar pada tataran indrawi. Namun, bukan lantas parsial-subjektif.
Ke-aku-an yang mendominasi hanya akan melahirkan kesenjangan dan terjebak dalam perasaan 'paling benar'. Adanya truth claim di kemudian hari, menjadi hal tak terhindarkan. Puncaknya fenomena pengkafiran marak di mana-mana.
Berangkat dari hal tersebut, manusia membutuhkan penyegaran kembali dalam memaknai keber-agama-an. Menilik lebih dalam hakikat bertuhan yang sering disebut dengan tasawuf. Peran tasawuf menjadi sentral, karena tidak hanya pada kulit luarnya saja seorang didaku menjadi ‘abd memainkan perannya.
Namun, ada hal yang jauh substansial untuk dipenuhi dalam kisah cinta hamba dan Tuhannya. Hubungan vertikal yang terjalin nan apik akan memunculkan tajalli dalam setiap penglihatan terhadap isi dunia. Apa yang tersapu oleh mata adalah tajalli-Nya.
Pencapaian tajalli tersebut berangkat dari tangga dasar berupa pembasuhan diri dari perangai buruk akibat simtom dosa-dosa, sebut saja takhalli. Tidak etis kiranya seorang hamba menatap Kekasihnya dengan kondisi masih 'kotor', meski Ia tak pernah membedakan dalam kasih-Nya.
Adab yang kedua adalah tahalli. Pada tingkat ini, 'abd berlama-lama di depan cermin untuk mematut diri. Memersiapkan jasad wa ar-ruh sebaik-baiknya dengan balutan akhlak dalam rangka pengisian jiwa yang telah bertakhalli.
Dua tahap ini menjadi tangga yang harus di lewati seorang hamba untuk kemudian dilingkupi tajalli-Nya, berupa penuh cinta. Sulit kiranya melenggang ke tangga puncak, tetapi melompati tahapan-tahapan sebelumnya.
Pandangan penuh kasih ini Tuhan syariatkan dalam bentuk Hablum minannas, hubungan sosial. Karena sejatinya manusia tidak bisa hidup hanya dengan jasad tunggalnya saja. Hubungan horizontal ini turut menjadi salah satu syarat untuk dipenuhi jika ingin dekat dengan-Nya.
Kini, tasawuf tidak melulu tentang garis tegak antara hamba dengan Tuhan. Melainkan, Konsep tasawuf sosial menjadi salah satu proses membumi yang tak terpisahkan. Penting kiranya memaknai tasawuf dalam lingkup keduniaan pula, sebagai media menuju-Nya.
Tidak berhenti di situ, tajalli-Nya meliputi seluruh alam ini. Ia menyediakan ayat-ayat kauniah yang begitu banyak terhampar pada bahtera semesta. Sejauh yang dapat ditangkap manusia melalui alam ini, maka itulah cerminan dari-Nya. Tidak mengherankan bila alam memiliki hukum balas, untuk itu manusia dituntun menjalin hubungan dengan alam melalui hablum minal alam.
Akhirnya, tasawuf sosial memandang dengan kasih terhadap semua ciptaan-Nya. Kemudian benarlah kiranya dawuhipun Gus Dur, “Memanusiakan manusia”.
[Adha]
KOMENTAR