![]() |
Dok. Istimewa |
Calon pembeli mulai berkomentar dengan berbagai pertanyaan untuk memastikan barang yang akan dibelinya itu sesuai dengan kebutuhannya. Berbagai pertanyaan muncul kepada TS, sebutan akun yang memposting. Kata 'minus' dan 'no-minus' itulah yang muncul diperingkat tiga teratas dalam kolom komentar. Pertanyaan minus itu biasanya digunakan oleh calon pembeli. Pertanyaannya dengan berbagai versi, misalnya; apakah ada minusnya? Minusnya apa? dan sejenisnya.
Pembeli hampir selalu menanyakan kondisi barang yang mau dipinangnya. Tidak terkecuali dalam jual beli hp di facebook. Pertanyaan 'minus' atau 'no-minus' ini untuk memperjelas. Kejalasan itu bisa juga untuk menentukan kesepakatan harga yang pas untuk ditakrifkan dan perbandingan dengan nilai barang yang sebanding. 'Minus' diartikan punya cacat, sedangkan 'no-minus' sebagai ukuran yang masih normal dan original dari pabrikan.
Dalam jual beli ada ketentuannya tersendiri. Salah satu tujuannya agar tidak ada yang dirugikan dari kedua pihak, yakni penjual dan pembeli. Barang yang 'minus' tidak sebanding dengan 'no-minus'. Seperti HP, semisal ada yang satu normal dengan segel original pabrik, jika dibandingkan dengan HP yang normal tapi sudah tidak segel. Harga keduanya tidak sebanding, beda. Mengapa? Karena ada penafsiran dari pembeli terhadap barang yang sudah tidak segel original, berasumsi kemungkinan pernah dibongkar bisa juga diartikan sudah pernah ada kerusakan. Barang yang pernah rusak itu nilainya sudah berbeda dengan yang belum dibongkar sama sekali dalam taksiran harga jual beli.
Membahas masalah 'minus' dan 'no-minus' yang tidak sebanding ini memiliki alasan yang lebih komplek lagi dalam kehidupan. Seperti tadi diulas diatas pada HP. Manusia juga demikian. Perkara kebaikan dalam kontruksi sosial memiliki nilai yang diukur oleh masyarakat.
Meski sesama manusia, orang yang pandai baca kitab suci tidak dinilai sebanding dengan para pelacur, orang yang sering sholat jamaah ke masjid tidak sebanding dengan orang yang suka judi, orang yang punya penyakitan tidak sebanding dengan orang yang sehat, orang yang suka baca buku tidak sebanding dengan orang yang tidak mau membaca buku, orang yang suka berbohong tidak sebanding dengan orang yang jujur, orang yang senang sholat tidak sebanding dengan orang yang malas sholat, orang yang berilmu tidak sebanding dengan orang yang malas-malasan belajar, orang punya keimanan tidak sebanding dengan yang tidak iman. Semua perbandingan diatas itulah yang dinilai oleh masyarakat. Sepakat atau tidak, itulah adanya yang dinilai oleh kebanyakan masyarakat.
Apakah berarti semua yang tidak sebanding ini bisa disebut 'minus' dan 'no-minus'? Rupanya memang begitulah adanya, sebab menilai dan membandingkan sesuatu itu dengan satu ketentuan yang digunakan, yaitu lingkungan masyarakat. Ketentuan itu bisa bermacam-macam, disebut undang-undang, norma agama, adat, etika, ataupun sejenisnya. Semua ketentuan itu sah digunakan pada ranahnya. Sebab, kualitas manusia tetap dinilai di masyarakat. Tapi jika keluar dari lingkup dari ketentuan yang berlaku itu, nilainya berbeda.
Semisal ukuran kualitas manusia, dalam agama diukur berdasarkan tingkat keimanan kepada Tuhannya. Keimanan tersebut, dilihat berdasar perilaku baiknya kepada sesama, diatur menurut agama. Dalam agama itu menyebutkan; Tuhan selain menuntut manusia untuk menjalin hubungan baik kepada-Nya, tapi juga kepada sesama. Maka mustahil bagi manusia yang berimanan tapi tidak baik kepada sesama. Begitu juga pada ranah berbangsa, ada undang-undang. Tidak mungkin orang yang nasionalis tapi jadi provokator perpecah-belahan. Karena nasionalis dan provokator pemecah-belah bangsa itu tidak sebanding. Perbandingan seperti ini jika disamakan penilaiannya terkadang menumbuhkan permasalahan.
Bisa menilai dengan ukuran yang dsepakati, tapi dalam hal buruk. Menilai hal yang minus dengan sesama orang minus itu mungkin klop, karena ukurannya keburukan. Misalnya, kelompotan preman copet terminal menilai preman sejati itu yang paling banyak mencopet. Itulah yang namanya 'klop'.
Sedang para penumpang bus terminal menilai, pencopet itu meresahkan, karena tetap perbuatan mencopet itu hal yang keji. Ia banyak merugikan orang lain. Maka, perilaku pencopet ini minus, dan baik hanya dinilai oleh lingkungan para pencopet saja. Demikan ukuran penilaian masyarakat yang berlaku di terminal.
Maka inilah yang; minus tidak sama dengan no-minus. Apapun alasannya, minus itu tetap cacat dan kecacatan mengurangi nilai kualitas. Nilai kualitas menentukan harga diri seseorang di masyarakat. Harga diri inilah yang akan dihormati atau dicela oleh masyarakat. Ini hanyalah perumpamaan kecil saja bagi manusia-manusia saat ini. Butuh penglihatan jitu untuk mendeteknya. Begitu? [A]
KOMENTAR