Ilustrasi: potretbengkulu.com |
Lebaran tinggal menghitung hari. Tetapi ada suatu hal yang tidak bisa lepas dengan kehidupan kita, yakni dilema kriminalitas menjelang lebaran. Terutama copet dan begal.
Angka kriminalitas menjelang lebaran meningkat. Misalnya saja pada tahun 2017, lebih dari tiga ribu kasus curanmor saat Ramadhan. Hal ini sangat memprihatinkan akan tingginya tingkat kejahatan di masyarakat.
Di tahun 2019 ini, masalah kriminalitas masih marak terjadi di masyarakat. Seperti begal dan copet marak kembali. Seolah permasalahan kriminalitas menjelag lebaran menjadi suatu hal yang rutin menghantui keamanan di masyarakat.
Beberapa tahun terakhir angka kriminalitas mencapai 291.748 kasus. Meskipun jumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan angka kriminalitas pada tahun 2016, yakni 380.826 kasus (Republika.co.id, 08/01/18).
Kondisi yang seperti ini membuat masyarakat tidak aman. Perasaan was-was dan selalu memiliki rasa tidak aman setiap saat terus mengintai siapapun. Tingkat kriminalitas yang tinggi menjelang lebaran seperti sebuah drama yang terus terulang tiap tahunnya.
Dirilis Indonesia Police Watch (IPW), kejahatan jalanan (street crime) masih mendominasi selama tahun 2018, seperti pembunuhan dan pengeroyokan. Tren itu diprediksi juga akan terus meningkat di tahun 2019.
Drama menjelang lebarang semacam ini, membuat masyarakat sungguh dilematis. Mengingat bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan yang suci, bersih, dari kemaksiatan, kejahatan, maupun kriminal, tetapi malah berbeda kondisinya. Momentum tersebut berubah menjadi ancaman yang dapat merenggut harta bahkan nyawa sekalipun.
Lebih ironis lagi, ancaman kriminalitas ini tidak hanya terjadi di wilayah pedesaan saja, tapi juga di perkotaan. Ia dapat menyerang siapa saja, tidak melihat tempat dan di mana masyarakat tinggal.
Hampir setiap momen menjelang lebaran, ada saja yang membagikan info titik-titik rawan begal di media sosial. Terlepas benar atau tidaknya informasi tersebut, yang jelas ini meresahkan masyarakat. Karena dapat berefek ketakutan bagi sebagian penerimanya.
Inilah yang dinamakan bulan suci, penuh kedamaian, yang katanya setan-setan di belenggu? Realitasnya, mengapa berbeda? Justru krimialitas, seperti; pembegalan, penjambretan, pencurian, hingga pencopetan ini semakin tinggi terjadi pada separuh menjelang akhir di bulan Ramadhan.
Faktor yang Melatarbelakanginya
Nampaknya, perbuatan kriminal sudah menjadi sebuah pekerjaan bagi orang tertentu. Ia rela menghalalkan segala cara demi mendapat keuntungan cepat dan praktis. Demi kebutuhan untuk memenuhi kehidupan menjelang lebaran.
Orang yang melakukan kerimanal memiliki banyak motif. Selain karena kebutuhan, juga bisa juga memanfaatkan kesempatan pada momen menjelang lebaran. Sehingga hal nekat dengan cara merampas hak orang lain pun ia lakukan.
Kriminalitas dapat terjadi oleh beberapa faktor. Paling utama adalah faktor ekonomi. Bagi mereka yang punya penghasilan rendah, naiknya harga kebutuhan pokok menjelang lebaran menjadi pemicu untuk mencari jalan yang tidak halal. Sehingga dengan alasan mungkin sekedar membeli baju baru demi anak, istri, dan keluarganya, karena dompet menipis maka ia relakan bertaruh nyawa melakukan pekerjaan kriminal tersebut.
Selain itu, ada juga orang yang hanya memanfaatkan kesempatan di kala banyak perantau yang melakukan perjalanan pulang dengan membawa banyak hasil. Peluang ini juga digunakan untuk mendapat kekayaan praktis dengan cara yang tragis, bahkan sampai mengorbankan nyawa si target pun dilakukan demi memperoleh hasil rampasan.
‘Esensi’ Bukan Hanya Ritual
Sebagian dari pelaku kriminal itu, ada orang muslim itu sendiri. Sebuah ironi tersendiri ketika orang muslim yang seharusnya menghayati dari momen puasa menuju fitri, justru berprilaku nan jauh dari semangat Ramadhan. Ini yang terjadi ketika puasa dipahami hanya sebatas ritual, tidak menyenuh ke esensinya.
Krisis pemahaman ini bisa disebabkan kurangnya menghayati nilai-nilai agamanya. Mereka cenderung tidak berpikir panjang dan berhati-hati dalam berperilaku. Sehingga acapsekali mudah melakukan tindakan-tindakan yang buruk, Seperti merampok, membegal, mencopet, dan sejenisnya.
Orang yang tahu akan esensi agama tidak akan mudah terjerumus pada perbuatan kriminal atau perbuatan buruk lainnya. Karena sudah terbiasa berpikir mendalam dan berhati-hati dalam bertindak. Paham akan esensi puasa sebagai penyucian diri akan menjauhkan dari berbuat buruk kepada orang lain.
Bila aturan dan nilai yang ada dalam agama tidak dipatuhi, maka harus ada pemaksaan untuk taat aturan pada hukum kemanusiaan. Sebagai orang yang beragama tentu harus mengikuti norma dan aturan yang berlaku.
Di Indonesia, peran utama dalam menangani kriminalitas di masyarakat menjadi tugas pemerintah. Namun bukan hanya aparat saja, peran semua lapisan masyarakat juga penting untuk menjamin kemamanan di masyarakat. Sebab, rasa aman dan nyaman adalah tanggung jawab bersama.[SAE]
KOMENTAR