Aksi tanggal 21 dan 22 Mei 2019 di Jakarta berujung luka dan duka. Perpecahan dan kehancuran kedaulatan semakin kentara, bahkan menuju momentum ukhuwah, yakni Idul Fitri. Problematika tiada ujung ini, akankah terus membekas untuk saling memusuhi dan menutup hakikat dari Idul Fitri? Jika iya, bisa dinilai kedewasaan kita dalam bernegara dan berbangsa.
Bagi umat Islam, Idul Fitri bukan hanya sebatas merayakan kemenangan setelah menjalani ibadah puasa ramadhan selama satu bulan saja. Tetapi juga menjadi simbol kembalinya fitrah manusia menjadi putih kembali atau suci tanpa noda.
Namun, perayaan Idul Fitri tahun 2019 nampaknya lebih spesial, penuh problematika. Peristiwa 21 dan 22 Mei masih membekas. Bukan hanya karena chaos perebutan kursi, tetapi juga karena aksi tersebut membawa identitas keagamaan yang pada akhirnya memecah belah kerukunan masyarakat beragama.
Konflik 21 dan 22 Mei 2019 digaungkan sebagai akibat dari permainan propaganda. Bahkan, sederet nama negarawan pun terseret dalam kasus ini. Laporan utama dalam majalah Tempo edisi 26 Mei 2019 menuliskan, "sejumlah tentara dan pensiunan jenderal diduga terlibat dalam pengiriman senjata untuk 'demonstrasi' 22 Mei dan ada kelompok yang sengaja melahirkan martir". Satub per satu terduga biang rusuh pun ditangkap.
Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 sejak awal perhelatan dari masa pendaftaran nama calon, sudah menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Sebutan "Cebong" dan "Kampret" untuk masing-masing calon presiden pun melekat. "Cebong" untuk massa pendukung Joko Wibowo dan "Kampret" untuk massa pendukung Prabowo Subianto.
Sinisme dibangun oleh kedua kubu pendukung. Terutama melalui media sosial. Cyber politik pun tidak terelakkan. Memang, pertarungan politik kini lebih banyak bermain di ruang maya. Salah satu faktornya karena kecepatan, kemudahan, dan jangkauan pengguna yang menyeluruh.
Chaos peperangan dunia maya mewujud dalam bentuk kematian nalar masyarakat maya. Propaganda era maya menggiring pengguna media sosial untuk masuk ke dalam jerat jaring polarisasi dan fanatisme. Mempropaganda pola berpikir masyrakat menggunakan narasi-narasi adu domba yang sarat kebencian.
Pun dalam penurunan massa aksi tanggal 21 dan 22 Mei kemarin. Diduga kuat, pengkoordiniran massa dilakukan via media sosial. Bahkan, pemerintah sampai sengaja men-drop media sosial selama tiga hari setelah kerusuhan malam tanggal 22 Mei 2019. Dengan tujuan untuk menekan penggelembungan massa melalui pengkoordiniran via media sosial.
Massa aksi 21 dan 22 turun ke jalan untuk memperjuangkan penegasian hasil perolehan suara Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan kecurangan. Dalam aksi tersebut begitu nyata menunjukkan bentuk fanatisme.
Ukhuwah Tanpa Persaudaraan
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, "Sepeninggalku nanti, aku mengkhawatirkan keadaan umatku dalam kaitannya dengan tiga perkara: Pertama, kaitannya pada jebakan hasrat dan obsesi. Kedua, menjadi pelayan bagi hasrat perut dan hasrat terhadap perempuan. Ketiga, menjadi lalai setelah mendapatkan pengetahuan".
Kekhawatiran Nabi Muhammad terkait perkara yang pertma, barangkali yang sedang terjadi saat ini. "Hasrat" dan "obsesi" bergemuruh dalam aksi 21 dan 22 Mei 21019 demi penguasaan politik dan perebutan kekuasaan. Memperebutkan kekuasaan dengan penuh obsesi dan hasrat, sehingga memutus kewarasan nalar para pengejarnya.
Huru-hara yang terjadi di Jakarta tepat setelah pengumuman hasil Pemilu, menimbulkan pertanyaan, seberapa dewasa masyarakat Indonesia dalam menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara? Jika kedewasaan diukur dengan bagaimana cara pribadi bersikap, apakah sikap anarkis yang terjadi sudah menunjukka kedewasaan seseorang? Dengan dalih membela kebenaran pun, saya rasa masih ada pilihan sikap yang bisa dilakukan dalam memaknai keadaan sosial politik kita.
Di negara demokrasi yang lebih dewasa, orang-orang bertarung pada level ide dan gagasan. Bersikap kreatif dan membangun, bukan menghancurkan. Sayangnya, dalam kehidupan berdemokrasi Indonesia saat ini, yang terlihat hanya pertarungan identitas dan labelisasi. Saling klaim paling benar dan yang terbenar. Begitukah cara hidup secara demoikrasi?
Semakin mendekati momentum ukhuwah, polemik saling dengki masih belum redam. Idul Fitri sebagai momentum ukhuwah (merasa saling bersaudara) hanya akan menjadi isapan jempol. Tidak ada lagi "minal aidzin wal faidzin" yang tulus dari hati. Yang ada hanya Idul Fitri sebagai tradisi tanpa esensi. Masihkah disebut sebagai muslim yang Islam?
[Ainun]
KOMENTAR