Sepasang sahabat sedang bercengkerama riang di sebuah aula asrama. Bercerita apa saja mengenai kehidupannya di masing-masing asrama. Mereka berdua sangat dekat, namun ketika mondok di sebuah pesantren yang dibagi dalam lima tempat, mereka pun berpisah. Walaupun berpisah secara tempat tinggal mereka tetap menjaga tali persahabatan.
Pesantren tempat tinggal mereka bernama Darul Falah Be-Songo. Sebut saja Dafa Be-Songo, kenapa Be-Songo? (Tanya mereka saat pertama kali mendaftar). Be-Songo berarti Blok-9 (Blok Sembilan) di sebuah perumahan, penjelasan dari salah satu sahabat itu.
Be-Songo mempunyai beragam keunikan dari pesantren lain. Pesantren lain mungkin hanya diajarkan kitab-kitab kuning, namun Be-Songo menyediakan kurikulum akademik dan non-akademik. Salah satunya yaitu khitobah empat bahasa (Inggris, Arab, Jawa, dan Indonesia) yang nantinya akan dilombakan saat akhirussanah. Tidak hanya itu, keterampilan memasak, menyulam, membuat kerajinan dari manik-manik, menjahit pun diajarkan di sana. Kedua sahabat tersebut sangat menikmati setiap kegiatannya.
Tiba di penghujung tahun, acara rutinan akhirussanah atau pelepasan wisuda untuk angkatan tertua pun dibuka. Sebelum memasuki puncak acara, mereka berdua dan seluruh santri harus mengikuti berbagai kegiatan perlombaan.
Lomba-lomba diselenggarakan bertujuan untuk menilai santri selama setahun belajar di pesantren ini. Sifat lombanya berbeda, ada lomba secara individu dan kelompok (delegasi tiap asrama). Tentu saja semua keterampilan diperlombakan, khitobah empat bahasa, bahkan baca kitab pun turut.
Baca Juga: Hal-hal Menarik di Dunia Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Sahabat beda asrama itu saling menyemangati satu sama lain. Mereka mulai mengenal berbagai macam tatanan, dari yang bersifat agamis hingga bisnis. Seperti tahun sebelumnya, setiap asrama harus berlatih untuk menyiapkan berbagai lomba.
Lomba kelompok misalnya, lomba banjari, lomba bola voli, lomba pentas seni, lomba memasak, lomba fashion show atau duta Dafa Be-Songo. Semua lomba tersebut sangat menentukan "juara umum" untuk asrama masing-masing.
Sebagaimana hal utama, yang harus dibangun bagi setiap masing-masing asrama adalah kerja sama dan kekompakan. Jika dua elemen tersebut menurun maka bisa jadi kalah taruhannya. Selain kerja sama dan kekompakan, ada satu lagi hal penting, menjaga rahasia. Rahasia apapun. Rahasia kreativitas, rahasia kecakapan, rahasia memperjuangkan juara bertahan, dan rahasia menjadi juara umum.
Kedua sahabat menajadi dilema. Sebaiknya lebih mementingkan rahasia atau persahabatan mereka. Bercerita menjadi kebiasaan harian mereka, sekali tak bercerita rasanya ada yang berbeda, karena ini sedang boomingnya acara akhirussanah mereka ketagihan untuk bercerita. Tapi entah apa saja yang mereka ceritakan satu sama lain.
Waktu mulai beranjak, mereka mengakhiri cerita mereka. Mungkin hanya mereka berdua saja yang bertukar rahasia tanpa memberi tahu siapa pun. Tak bisa dipungkiri jika manusia memang senang sekali membagikan rahasia. Tak lama, mereka menyadari ada satu hal yang keliru.
Rahasia sering dikaitkan dengan tutup mulut. Apabila satu rahasia terceritakan maka cepat atau lambat akan menyebar. Tak peduli mau seberapa dekat sahabat itu bersama, tetapi jika rahasia tak bisa dijaga maka kekompakan akan luntur.
Sahabat bagai kepompong, selalu memberi tahu kesalahan tanpa memandang apapun. Salah satu dari mereka merasa bersalah akan rahasia yang telah diceritakan setiap harinya. Padahal keduanya telah berjanji untuk berkomitmen menjaga rahasia asrama masing-masing. Mereka percaya satu sama lain akan tetapi apa yang telah mereka ceritakan itu melanggar komitmen bersama.
Persahabatan bukan tentang bagaimana mereka bisa menceritakan seluruh keadaannya, namun bagaimana mereka mengerti satu sama lain. Apalagi mereka hidup bersama-sama.
Ada hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga rahasia ini, bahwa jika rahasia terbongkar tanpa sepengetahuan sang empu maka berantakanlah segala yang telah dibangun. Maka, dengan hati lapang mereka berdua meminta maaf atas kesalahan menceritakan berbagai rahasia. Sudah sepatutnya mereka menyadari kesalahannya, dan mereka tetap bersahabat dengan baik.
Dunia Terbalik
Apa jadinya jika rahasia bukan menjadi "rahasia" lagi? Zaman sudah beralih, rahasia yang harus dijaga tak lagi mempan. Rahasia diumbar, menjadi hal yang biasa, jika sudah begitu nantinya akan carut cemarut. Suatu rahasia diamanati untuk tidak sampai ketahuan, namun apalah daya seorang manusia yang begitu lemah jiwanya.
Jika sudah dipertemukan dengan "uang" maka runtuhlah semua tembok-tembok penjagaannya. Satu rahasia berharga sekian juta, dua rahasia berharga puluhan miliar, dan rahasia-rahasia lain yang tak pernah habis hitungan uangnya.
Berkaca dari kedua sahabat di atas, betapa menceritakan sebuah rahasia menjadi hal yang tidak boleh dilakukan. Mereka terlanjur berkata demikian, hingga sesuatu terjadi dan takut atas persahabatan menjadi putus. Meminta maaf menjadi solusi terbaik. Bagi mereka, semua perlu dipertanggungjawabkan, mereka mungkin malu namun ya itulah jalannya. Orang-orang sekarang tak mengenal apa itu "maaf". Toh, buat apa? Meminta maaf dan tidak meminta maaf kan sama saja. Nanti juga akan berubah menjadi biasa lagi, begitulah kebanyakan ujaran mereka.
Seandainya saja kata "maaf" dihapuskan dari negeri ini, akankah dunia terbalik? Padahal jika dilihat dari sisi sejarah, para guru zaman dulu sangat menyarankan untuk berujar maaf, maaf untuk kesalahan atau hanya sekadar mengucapkan saja. Dulu, semua orang sangat mengingat kata maaf dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kata maaf digabung dengan kata terima kasih. Ya, begitulah orang zaman dulu menjalani kehidupan mereka.
Kini, seolah-olah kata maaf hanya hiasan semata agar menjadi manusia yang tahu diri saja. Kata maaf kehilangan arti, kehilangan makna dan parahnya kehilangan eksistensi. Hilangnya kata maaf bersamaan dengan perilaku orang-orang dewasa yang berimbas kepada anak-anak. Mereka lupa bagaimana cara mengajarkan cara meminta maaf, berterima kasih, menyapa satu sama lain, semua hilang. Guru-guru di sekolah tak mengajarkan itu, anak-anak hanya disuguhkan berbagai program pelajaran yang menguras otak, mereka tak diajarkan mengolah perilaku, melatih nalar bahwa jika salah maka harus meminta maaf, dan jika dibantu akan berterima kasih.
Baca Juga: 5 Tipe Mahasiswa yang Ada di UIN Walisongo
Bahasa yang bahkan menghilangkan kata maaf, padahal orang-orang zaman dulu sangat menjaganya. Tak bisa dipungkiri lagi, manusia sudah berubah total, dunia terbalik. Tetapi di antara manusia-manusia seperti itu, setidaknya masih ada kedua sahabat yang rela malu untuk hanya meminta maaf kepada seluruh penghuni asrama. Mereka malu bukan tidak tahu malu. Mereka malu kepada sesama orang di sekitarnya, lalu mereka juga malu kepada sang Maha Melihat lagi Maha Mendengar.
Sungguh manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa. Jika sudah tidak ada lagi kata maaf, maka bagaimana mereka meminta ampun kepada sang Pencipta. Tak bisakah mereka memohon maaf atas dasar hati yang tulus, bukan semata-mata menggugurkan kewajiban sebagai hamba. Lalu, jika tak ada lagi kata maaf, apakah mereka bisa bertahan hidup dengan nyaman? Banyak sekali pertanyaan di sini, hingga semua jawabannya tak pernah terjawab. [Zey]
KOMENTAR