gambar: technostate.net |
Dalam sebuah laporan lain yang berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World," juga menyebutkan, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Bahkan, Indonesia menempati tiga besar negara dengan pertumbuhan pengguna internet mobile terbesar. Ada lebih dari 10 juta pengguna internet mobile baru di Indonesia selama kuartal 2017.
Evolusi teknologi yang pesat tersebut, tidak terlepas pula dari karakter generasinya yakni kaum milenial yang ingin selalu update dan tidak mau ketinggalan zaman yang berpengaruh besar dalam laju pertumbuhan pengguna media sosial di Indonesia. Rasa ingin tahu yang terus menerus terjadi menimbulkan rasa ketergantungan yang tinggi terhadap smartphone. Konsumerisme pun menjalar ke segala lini, tidak terbendung.
Salah satu "penyakit" generasi milenial saat ini ialah Fear of Missing Out (FoMO). Perasaan cemas ketika melihat orang lain melakukan hal menarik, kemudian timbul keinginan untuk menirunya. Takut merasa tertinggal oleh yang sedang tren. Termasuk kecenderungan untuk selalu membagikan segala momen di media sosial.
YouTube Channel, Moby pada 2016 lalu mengunggah video dengan judul "Are You Lost In The World Like Me?", di mana memperlihatkan gambaran singkat mengenai kekejaman media sosial yang telah mengubah perilaku dan gaya hidup banyak orang. Manusia kini lebih peduli terhadap apa yang terjadi di layar gawai dibandingkan apa yang ada di kehiduapn nyata.
Rasionalitas dunia nyata menjadi semu, sedang kesemuan dunia maya dijadikan rasionalitas mutlak. Orang-orang bebas bertindak di media sosial. Menciptakan dunianya sendiri, dunia kedua yang lebih menarik dan sempurna. Batas, hukum, maupun nilai-nilai yang ada di dunia nyata seperti tidak berlaku di dunia kedua ini. Semuanya bercampur, saling tabrak, dan kekacauan terjadi di mana-mana.
'Tanpa batas' membuat warga dalam dunia maya bebas berekspresi. Kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, caci maki, bullying, semua orang bebas menunjukkannya. Tidak peduli oleh siapa yang akan melihat dan bagaimana tanggapan orang lain. Prioritas utamanya 'tunjukkan!' Urusan dampak dinomorsekiankan.
Semua orang ingin menunjukkan apa yang mereka punya dan rasakan. Media sosial kehilangan fungsi praktisnya sebagai media komunikasi. Orientasi orang menggunakan media sosial berubah menjadi medium menyalurkan nafsu liar. Hoaks, hate speech, dan cyber war menjamur. Hukum rimba berlaku di sini, siapa memakan dia yang menang.
Media sosial seperti berada dalam dualitas rasa. Di satu sisi begitu digemari karena kemudahan dan keasyikanya, di sisi lain menimbulkan kemuakan karena rimbanya. Pengguna media sosial hari ini dilanda dilematis. Apakah harus bertahan atau mengakhiri. Apakah harus cinta ataukah benci? [Ainun]
KOMENTAR