Saya ingin berterus terang. Pembahasan yang akan kamu baca ini bukan lagi penting, tapi harus dibaca secara tuntas, serta hati dan akal yang bajik. Ini tentang fenomena manusia di Pilpres Indonesia 2019.
Langsung saja..
Sejak mulai digencarkan isu tahun politik dan masyarakat harus turut antusias menghadapinya, saya harus menahan unsur kebinatangan dan kesetanan saya (amarah) sampai beberapa minggu lagi pemilu presiden diselenggarakan. Mengapa demikian?
Saya melihat seperti tidak lagi ada yang penting selain satu hal, yakni "Prabowo ataukah Jokowi yang akan menang?".
Suatu hal yang menurut saya telah membuang esensi dan waktu manusia Indonesia menghadapi proses kehidupan. Karena banyak bahkan sejuta hal lain yang semestinya bisa memajukan peradaban telah dibunuh secara terang-terangan oleh hal tersebut.
Keharmonisan sosial retak, manipulasi informasi masif terjadi, pendangkalan pada pola pikir masyarakat digencarkan, kreatifitas-kreatifitas anak muda dikunci secara total, dan banyak lagi hal lain yang harus hilang untuk dibahas dan dilakukan.
Para aktivis yang sedang berusaha menyukseskan pilpres serta pertarungan di dalamnya telah cukup berhasil memporak-porandakan tatanan yang selama ini diperjuangkan dan diidamkan. Agama telah menjadi komoditas dan senjata ampuh untuk menggalang dukungan agar mampu menjatuhkan lawan politiknya. Di sinilah esensi agama sebagai petunjuk langkah manusia telah dimanipulasi dan diakuisisi untuk kepentingan duniawinya.
Yang lebih parah lagi, masyarakat Indonesia yang pada faktanya masih belum cukup bijak dan dewasa dalam berpikir dan berpolitik, harus dipaksa menjadi hamba dan umat koalisi politik yang sedang bertarung. Masyarakat dituntut untuk membenarkan apa yang dikatakan kepentingannya, dan menolak yang bukan kepentingannya. Seakan-akan, masa depan ada di tangan antara koalisi Jokowi maupun Prabowo.
Koalisi Jokowi dan Prabowo laiknya sekte baru yang setiap detik harus mengalir di darah bangsa dan menjadi nafas yang keluar dari mulut. Di sinilah, logika manusiawi telah berada di ujung nalar sehat.
Aktivis pilpres beserta junjungannya seperti hanya bicara menang dan kalah dengan melakukan segala cara, serta mengintervensi hak siapapun dalam berpikir. Intinya harus memuja, membenarkan, serta menjadi kaumnya. Memangnya mereka nabi? Ya, seperti itulah faktanya kini.
Buya Hamka pernah berkata, "Jika kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri, para Nabi tidak perlu ada untuk keselamatan kita."
Ya, bahkan nabi Muhammad telah dijadikan senjata politiknya untuk menang di pilpres 2019 nanti. Kejam dan ironis.
Apa memang seperti demikian laiknya manusia hidup? Kita semakin ke sini semakin terlalu berani membenarkan diri dan memaksa masa depan dengan kepentingan kita selama di dunia, yang sampai melupakan bahwa telah ada "Yang Maha" yang hanya seketika bisa membolak-balikkan yang ada.
Untuk pilpres 2019, kita bahkan telah melupakan esensi bermasyarakat, memajukan peradaban, belajar dari kesalahan dan sejarah, melakukan hal-hal yang bukan selayaknya. Ya, kita sering merasa membenarkan diri melebihi kebenaran yang sebagaimana nabi.
Mengutip Buya Hamka lagi, "Bahwasanya air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh, tidak pula memilih waktu untuk turun."
Oleh karenanya, tidaklah kita telah memilih untuk keluar dari jalan yang telah sesuai dengan ajaran, dengan memilih merasa benar, memaksa menang, menghancurkan sesama, mendahului kodratnya, hanya untuk pilpres 2019? [T]
KOMENTAR