Perkara politik adalah perkara dialektik. Perkara yang berbicara tentang cara dan intrik untuk dapat berdialektika tentang arah kedepan sebuah tatanan sosial yang menyatu dan disatukan di dalam balut visi.
Orang-orang secara terbuka menghadirkan ide dan gagasannya yang berbeda-beda lalu dipilih mana yang paling dan terbaik untuk bisa dijalankan. Sedangkan pemenang ide dan kuasa adalah bonus dari dialektika itu sendiri
Tentang politik dan praktik dunia politik, kita sekarang sedang disuguhi orkestra politik yang paling rendah. Karena bukan inti dialektika yang ada, namun malah bonus (kuasa) yang kini dimaknai sebagai politik yang diperjuangkan. Sehingga saat kuasa itu tak didapatkan maka yang terjadi adalah lahirnya hal-hal yang naif atau rela melakukan segala cara untuk menjatuhkan lawannya.
Maka dari itu, pergolakan politik bangsa di bumi pertiwi ini sedang sakit dan jauh dari makna jika dibaca dan dikorelasikan dengan sejak dicetuskannya sebuah negara yang telah bebas dari penjajahan.
Tentang politik yang dialektis, saya jadi ingat apa yang dikatakan Socrates tentang dialektika.
Socrates berkata begini,
"Ketika kalah dalam debat, fitnah menjadi alat bagi pecundang."
Ya, saya cukup menyetujui itu, karena akal dan kemampuan politiknya telah dibunuh oleh dirinya sendiri, sebab apa yang dilakukannya sudah bukan hal yang lazim lagi sebagai manusia sosio-politik. Dengan menghalalkan segala cara sampai melakukan fitnah yang keji adalah hal terendah dari unsur moril dari diri manusia. Apalagi yang dilakukan tersebut bukan berdasar pada perjuangan inti politik, namun perkara kursi dan kuasa.
Hal tersebut telah menunjukkan betapa keangkuhan telah membelenggu sisi manusiawi dan politisnya. Orang merasa dianggap ada bukan lagi karena ia bijaksana dalam melangkah. Namun karena ke-aku-an yang harus diketahui oleh orang lain meski tanpa modal, tanpa konsepsi.
Nietzche juga pernah berkata begini di dalam sabda Zarathustra-nya,
"Tidakkah yang paling berat itu adalah ini: merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan? Mempertontonkan ketololan untuk mencemooh kebijaksanaan kita sendiri?"
Oleh karena kalah, karena tidak dianggap orang lain mampu, karena tidak punya kuasa, sehingga cara apapun yang bahkan bukan lazim telah ditempuh untuk meraih egoisme dan kebinatangan dalam hidup bersosial. Itulah mengapa para pecundang yang sedang berebut kursi di bumi pertiwi itu aslinya telah tak benar-benar berhasil menonaktifkan pikirannya sendiri. [a]
KOMENTAR