Pemilihan Umum (Pemilu) sudah berkali-kali digelar. Pemilu kali ini cukup rumit karena pemilihan presiden, anggota legislatif, dan anggota dewan perwakilan daerah dilakukan secara serentak. Sehingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menyiapkan banyak jenis surat suara untuk 192,8 juta jiwa calon pemilih. Mereka pun harus menyoblos banyak gambar yang terpampang dalam kertas surat suara. Sehingga perhitungan hasil pemilih pun menjadi lebih lama.
Pemilu telah selesai dilaksanakan, para kontestan sebaiknya berjiwa besar menerima apapun hasil yang nanti akan diumumkan oleh komisi KPU, menang atau kalah. Seperti falsafah Jawa, "Menang tanpa ngasorake". Kontestan yang nantinya dinyatakan sebagai pemenang, alangkah baiknya tidak merendahkan lawan. Pun dengan yang kalah tidak harus protes dengan berlebihan apalagi tanpa bukti, hanya akan memperlihatkan sikap yang kurang berjiwa besar.
Ketika tidak bisa menyikapi kekalahan dalam kontestasi politik, yang terjadi memicu kecurigaan terjadinya kecurangan. Mulai dari kurang mulusnya penyelengaraan Pemilu di luar negeri yang menimbulkan kericuhan, hingga server KPU yang diretas untuk memenangkan salah satu bakal calon presiden. Mempersoalkan kecurangan memang penting, namun akan lebih baik dan elegan ketika dilakukan lewat mekanisme demokrasi dan hukum.
Di mana praktik-praktik kecurangan dalam Pemilu bisa dilaporkan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Mahkamah Konstitusi yang sudah berpengalaman dalam memutuskan sengketa Pemilu. Di lain sisi, publik pun bisa berperan aktif dalam proses penyoblosan hingga penghituangan suara. Hal itu menjadi cara yang lebih baik ketimbang bersikap asal curiga dan saling tuduh. Bila tidak ada bukti yang kuat, tidak sepantasnya menuduh kontestan pemenang Pemilu melakukan praktik kecurangan. Tuduhan secara serampangan hanya akan memancing api kerusuhan. Ongkosnya pun akan sangat mahal: merusak demokrasi.
Sekarang, seharusnya kita meningkatkan mutu demokrasi. Sejauh ini, Indonesia termasuk negara yang berdemokrasi secara tidak sempurna (flawed democracy) versi The Economist Intelligence Unit. Di kawasan Asia-Pasifik, hanya Australia dan Selandia Baru yang termasuk negara full democracy. Sedangkan menurut indeks demokrasi yang dirilis The Economist pada tahun lalu, Indonesia berada pada peringkat ke-65 dari 167 negara.
Jebloknya Indonesia dalam parameter The Economist, justru dalam urusan budaya politik dan kebebasan warga negara, yang masing-masing mendapat nilai 5,63 dan 5,59. Sementara angka penyelenggaraan Pemilu dan partisipasi politik di Indonesia sebetulnya tidak terlalu buruk, yakni masing-masing 6,92 dan 6,67. Sedangkan angka penyelenggaraan pemerintahan mencapai 7,14.
Sikap legowo dan berani menyatakan kekalahan di depan publik menjadi salah satu contoh budaya politik yang baik dan harus dijunjung tinggi. Salah satu titik lemah demokrasi Indonesia inilah yang menjadi penting. Ketika para kontestan politik Indonesia yang kurang beruntung, harus berjiwa besar dan mau mengakui kemenangan lawan untuk memimpin Indonesia ke depan lebih baik dan full democracy. [Yen]
KOMENTAR