![]() |
Gambar: www.imagui.eu |
Konstestasi drama pilpres 2019 kian hari kian memanas di antara partai koalisi pendukung Jokowi dan Prabowo. Sejak masa kampanya diresmikan Komisi Pemilihan Umum (KPU), masing-masing partai politik gencar mengkampanyekan pasangan yang diusungnya.
Perdebatan antar pendukung dua kubu ini sering kita saksikan di berbagai stasiun televisi, media cetak, media online atau bahkan di media sosial. Lewat media, para politisi berebut simpati dan dukungan masyarakat Indonesia.
Di era digital, media menjadi senjata utama dalam menuai simpati masyarakat. Media dianggap mempunyai daya hegemoni yang besar terhadap informasi. Tidak sedikit, orang tergerak dan terpengaruh karena pemberitaan atau visual yang ditayangkan media.
Media ibarat jarum suntik. Seseorang yang terkena jarum suntik, akan merasakan efek di dalam tubuhnya, baik negatif atau positif. Pun demikian, media mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi khalayak umum.
Lewat media, sebuah pesan diproduksi atau divisualkan di layar kaca, meme, dan video. Kemudian, pesan tersebut diluncurkan bak sebuah peluru yang menembus alam pikiran manusia. Sehingga secara tidak sadar, media telah memberikan efek terhadap khalayak, baik secara lansung atau tertunda di masa depan.
Begitu dahsyatnya kekuatan media dalam mempengaruhi komunikasi massa di tengah masyarakat banyak. Melalui sebuah kata yang diproduksi di sebuah media (baca: meme, video, medsos), tidak sedikit orang terpengaruh, percaya dan melakukan sebuah tindakan. Misalnya, tweet tentang Ratna Sarumpaet yang dikabarkan diserang oknum tak dikenal menuai respon dan reaksi yang ramai dari khalayak.
Kasus lain adalah berita hoaks tujuh kontainer kertas surat yang sudah dicoblos. Kasus tersebut juga menggemparkan, banyak orang yang mempercayainya. Pesan hoaks dengan sengaja diproduksi agar masyarakat tidak percaya kepada KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Berawal dari sebuah kata, banyak orang terperdaya kesadarannya. Sehingga, terkadang mereka lalai menggunakan akal sehat dalam mengklarifikasi kebenaran sebuah berita. Nampaknya, memang benar apa yang dikatakan Mochtar Pabolottinggi, bahwa kata-kata adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak berhenti menyerbu.
Ungkapan Mochtar mengingatkan kita bahwa Media yang tampil sebagai kekuatan menciptakan peristiwa, tidak terlepas dari kepentingan penggunanya. Ia menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran "apa yang dikatakan media tentang realitas atau subjek pemberitaan" (Hegemoni Budaya, 1997).
Media-lah yang paling mampu memanipulasi realitas. Pesan-pesan yang ditampilkan ke permukaan merupakan sebuah kontruksi dari rentetan fakta atau realitas yang terjadi. Media menjadi alat memanipulasi dan alat legitimasi yang memoles wajah dunia.
Media dan Kepentingan Politisi
George Orwell lewat novelnya meramalkan, dalam jangka panjang penguasaan terhadap alat komunikasi akan menggantikan kekuatan militer dalam melakukan penindasan. Dalam hal ini, memonopoli bahasa berarti memonopoli alat komunikasi terpenting.
Tak heran, pertarungan antara Jokowi dan Prabowo dalam memprebutkan tahta tertinggi di negeri ini, saling berebut pengaruh di media massa atau media sosial. Tiga bulan terakhir, politisi gemar menggelindingkan jargon-jargon tertentu untuk menguasai wacana politik nasional atau untuk mendikte isu-isu politik ke masyarakat.
Di beranda facebook, instagram, dan youtube belakangan ini kerapkali dipenuhi iklan dan promosi capres-cawapres, caleg dan jargon-jargon partai. Langkah ini menunjukkan adanya kesadaran politisi dalam melihat fungsi media.
Dalam kaitan ini, kita bisa melihat hampir semua inisiatif untuk menggulirkan isu-isu politik ke tengah masyarakat bersumber dari suprastruktur politik. Sebuah istilah atau jargon yang dilontarkan dari pusat bergulir dengan cepat dari atas sampai ke tingkat bawah lewat media.
Pada akhirnya, media jauh dari kata independen, malah menjadi kepanjangan tangan para politisi. Kenyataan ini tidak bisa dipahami hanya atau dijelaskan dari pernyataan-pernyataan yang tampil di permukaan, tapi juga bagaimana relasi media dengan politisi yang memproduksi sebuah bahasa.
Dalam situasi seperti ini, media akan terjebak pada pusaran kepentingan politisi semata. Hal ini akan membuat peran media massa kehilangan daya kritis dan analisisnya sehingga derajat independensinya sangat lemah. Pada titik ini, masyarakat akan selalu dalam genggaman mereka yang berkuasa.
Membangun Media Sehat
Pers yang berperan dalam menata kehidupan sesuai rule yang sehat harus dikembalikan pada khittahnya: merdeka dari cengkraman politisi, penguasa atau pemilik modal. Kita yakin bahwa pers mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi tatanan masyarakat menjadi lebih baik. Di samping itu, pers juga mampu mengarahkan masyarakat akan hal yang penting, lebih ideal, lebih maju dan lebih manusiawi.
Mengembalikan khittah lembaga pers sama halnya membentuk media yang sehat. Sehingga hal tersebut mampu menjadi solusi menciptakan masyarakat yang berjiwa sehat pula. Jurnalisme demikian mengajak kita menyibak hal-hal yang sering dilupakan, untuk memerdekaaan kata dari imprealisme kesadaran. Dengan begitu, media akan membentuk masyarakat yang tercerahkan, bukan memanipulasi janji manis yang dibungkus dengan kepalsuan semata. [Solihin]
KOMENTAR