![]() |
Gambar: unsplash.com |
Di era semakin canggih ini, anak-anak muda di Indonesia ternyata tidak hanya disibukkan dengan bermain game atau nongkrong semata. Aktivitas mereka kini bertambah semakin padat. Bagaimana tidak, sebagian dari mereka kini aktif mengikuti kajian-kajian islami kekinian atau yang sering disebut dengan "hijrah". Kajian hijrah berbagai macam bentuknya, mulai dari kajian fikih, sampai dengan nikah muda. Namun, karena ini era milenial, jika ingin mengikuti kajian semacam itu, sekarang tidak perlu ribet-ribet dengan mengunjungi majelis kajian, cukup dengan bergabung di grup whatsapp saja misalnya. Kita langsung bisa menerima materi-materi keislaman dan syariat dari ustadz atau ustadzah penyedia layanan hijrah.
Selain itu, saat membuka beranda media sosial (medsos) instagram, twitter, facebook, atau yang lainnya. kita juga akan disuguhi akun-akun yang mengajak untuk hijrah atau hastag yang mengandung ajakan yang sama. Saat melakukan googling, juga akan banyak ditemukan portal-portal online yang memberikan kajian-kajian hijrah. Begitu mudah sekali memang di era millenial ini untuk mengakses kajian-kajian hijrah. Namun, agak yang sedikit mengherankan, sebagian dari mereka yang berhijrah ini justru cenderung lebih senang mengikuti kajian via grup media sosial daripada mengikuti majelis tatap muka secara langsung. Padahal, ketika mengikuti kajian langsung, dapat mengetahui ustadz atau ustadzah yang mengisi beserta kapabilitasnya dalam syiar.
Saya tidak tahu secara pasti bagaimana para muslim dan muslimah milenial ini secara mendalam memaknai hijrah, hanya saja jika melihat akun-akun medsos yang bertebaran. Salah satu ciri dikatakan untuk bisa disebut "sudah berhijrah" adalah, bagi perempuan yang tidak berhijab mulai menggunakan hijab, atau yang sudah berhijab , hijabnya semakin lebar dan besar atau bagi para muslimnya mulai mengikuti sunnah-sunnah nabi, seperti memanjangkan jenggot dan mencukur kumis.
Makna hijrah sendiri dahulu pada zaman Rasul adalah berpindahnya rasul dari Makkah ke Madinah untuk menyebarkan dakwah. Atau jika dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, salah satu perawi hadist yang terpercaya, menjelaskan bahwa orang-orang yang berhijrah orang yang berpindah dari kondisi mendurhakai Allah atau peluang bermaksiat kepada Allah menuju ketaatan yang lebih baik. Lebih tepatnya meninggalkan larangan-larangan Allah SWT.
Namun, beberapa kali saya sempat berfikir mengenai aktifitas-aktifitas yang mereka lakukan dalam memaknai dan mempraktekkan hijrahnya. Apakaha hal tersebut murni untuk berhijrah atau justru hanya mengikuti trend saja. Apalagi jika hanya mengikuti trend fashion saja ? Semoga hijrah yang dimaknai para muslim dan muslimah milenial di Indonesia ini, bukan hanya "sekadar" hijrah semata. Apalagi jika hanya bermodal belajar dari portal online yang belum terverifikasi kredibilitasnya, atau melalui grup whatsapp.
Gampang Menghukumi
Beberapa kali saya menjumpai ustadz ustadzah muda yang sedang ceramah di youtube atau medsos. Sangat menyenangkan sekali memang karenan kajian yang diberikan mudah dicerna dan penjelasannya menyentuh hati. Apalagi jika ditambah dengan menggunakan analogi-analogi yang diberikan, cukup memahamkan. Mereka juga berfatwa layakanya para kiyai-kiyai yang sudah ahli di bidangnya, dan sudah menuntut ilmu sekian lamanya. Padahal, hanya menayadurkan ayat Alquran atau hadist, kemudian menginterpretasikannya sendiri.
Sayangnya, kemunculan ustadz-ustadz online ini terkadang mudah untuk berfatwa dan menghukumi yang dianggap berbeda dengannya. Seperti Syirik, kafir, sesat, dan lain sebagainya. Anehnya, fatwanya justru diterima begitu saja oleh masyarakat awam atau bahkan para akademisi. Terlebih lagi, di dunia maya, para ustadz-ustadz online kini juga tengah disibukkan dengan pro kontra terhadap dunia atau hal yang sudah membudaya, salah satunya adalah tentang musik.
Ada yang mengatakan musik itu haram hukumnya, karena musik merupakan salah satu hal yang dapat menjauhkan umat Islam dari al-Qur'an, demikian juga sebaliknya terdapat ulama'-ulama' yang membolehkannya. Perdebatan ini saya kira tidak akan ada habisnya, apalagi masing-masing dari pendakwah tersebut mempunyai dalil-dalil pribadi, baik yang diambil dari al-Qur'an atau Hadist. Namun, yang menjadi pertanyaannya apakah hadist tersebut sahih, apakah penafsiran terhadap ayat Alqur'an tersebut sudah tepat? Apakah dalam memahami dalil itu harus tekstual dan tidak boleh kontekstual sesuai dengan kondisi zaman?
Hukum tentang Musik
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Quraish Sihab, Penulis Tafsir Al-Misbah yang masyhur, mengungkapkan bahwa musik bisa dimaknai dari berbagai hal misalnya sebagai suara yang berirama. Suara yang berirama pun dapat diciptakan dari alat atau juga tanpa alat. Misalnya, suara irama yang diciptakan tanpa alat adalah ketika membaca Alqur'an. Lalu apakah membaca Alqur'an kemudian diharamkan? Adapula irama yang tercipta melalui alat. Alat sendiri bukan suatu yang haram, akan tetapi penggunannya yang dapat dikatakan haram karena untuk kemaksiatan. Kemudian, dalam konteks suara, menyanyi bisa menjadi haram ketika isi yang disampaikan menghantarkan pada keburukan. sehingga, dari hal ini suatu hukum dapat terjadi sesuai dengan kondisinya.
Imam Al-Ghazali pun dalam kitab Ihya Ulumuddin, menjelaskan mengenai argumentasi yang membantah Musik diharamkan dan cenderung membolehkan musik. Menurutnya ketika terdapat dalil bahwa Allah mengharamkan musik dalam hal ini "Aktivitas mendengar (nyanyian, bunyi, musik), tidak boleh hanya dipahami secara aqli saja, melainkan juga secara naqli. Kemudian, menurutnya apabila terdapat dalil yang mengharamkan maka keharaman tersebut bukan berasal dari musiknya melainkan ketika mendengarkan musik atau nyanyian tersebut dibarengi dengan aktivitas kemaksiatan lainnya misalnya, zina, judi, dan lalai terhadap Tuhan.
Namun, di era millenial. Jika masih terus menerus membahas mengenai hal-hal yang bersifat mendasar, maka akan mudah terjebak pada fikih semata. Dengan mudah menghukumi suatu perkara menjadi halal, haram, atau yang lainnya. Padahal, ketika berbicara mengenai hukum syara', itu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk memahaminya. Bukan dengan cara asal comot dalil dan menginterpretasikan tanpa menggunakan ilmu, serta melakukan kebiasaan cocokologi dalil. Bagaimana jadinya, jika masih terus memperdebatkan hal mendasar, dimana hal tersebut sebenarnya hukumnya bisa berubah sesuai dengan kondisinya. Apalagi jika hukum yang menurut kita benar, kemudian menyalahkan hukum orang lain. Bukankah menjadi perdebatan yang sia-sia
? Mari kita renungkan bersama. [DA]
KOMENTAR