gambar: nusantaranews.co |
Benarkah demokrasi Indonesia demikian adanya?
Kritik kepada jalannya pemerintahan dan negara telah kita saksikan bersama. Bahwa kita sering memiliki sesosok pemimpin hasil pemilu yang setelah menjabat, ternyata layaknya bukan seorang pemimpin yang diinginkan. Pemimpin demikian digambarkan sebagai seorang yang tidak menaungi rakyatnya seperti layaknya seorang bapak kepada anak.
Terbukti dengan tidak sedikitnya ketidakadilan di tengah-tengah rakyat demokratis. Terbukti pula bahwa lagu-lagu ketidakadilan masih menyentuh jiwa-jiwa yang mendengarkannya. Sehingga di setiap lima tahun sekali, Indonesia mencari pemimpin yang benar-benar laiknya kepala negara, tapi tampaknya masih belum ketemu juga.
Beberapa pekan terakhir, kita diberi stimulus yang epik dari tontonan film kolosal yang dimodernisasi sinematografinya yakni film era Sultan Agung. Di mana Sultan Agung telah berhasil menjadi pemimpin yang merangkul seluruh penjuru nusantara dan mengalahkan VOC secara telak. Sosok seperti Sultan Agung bagi rakyat kini seperti hanya harapan yang masih bersandar di langit saja.
Soal pemimpin, Machiavelli pernah mengatakan bahwa Pemimpin itu, harus meniru singa (il leone) yang kukuh-berani melawan kawanan serigala, dan sekaligus meniru rubah (la volpe) yang tangkas berkelit dari jerat.
Sudahkah kita punya pemimpin yang diharapkan oleh inti demokrasi? Saya kira kita tahu sendiri jawabannya.
Di sisi lain, dan di beberapa waktu, bahkan kita kita, situasi dan kondisi demokrasi kita juga sering diibaratkan dengan sejumlah kepala yang rela memotong-motong tubuhnya sendiri karena dianggap mengganggu status quo sebuah kepala. Hal ini sering diibaratkan dengan wajah oligarki Dasamuka. Atau jika kita ingin mengatakan yang lebih jelas lagi bahwa partai-partai atas nama demokrasi dan para petingginya laiknya swalayan-swalayan di mana rakyat akan kelaparan jika tidak membeli barang di tokonya. Jika ada yang berani membuat toko, maka akan dimatikan segera tokonya itu.
Jaringan oligarki akan terus melakukan itu sebab memiliki satu tujuan yakni mempertahankan kedaulatannya. Ia akan menyisihkan setiap serpihan sekecil apapun yang mengganggu. Ia mencegat pendatang baru yang "tak cocok" dengannya. Ia juga sudah memasang tembok besar bernama ideologi "konsensus" di mana tubuh-politik yang sesuai dengannya tak boleh dirusak oleh sebuah bentuk antagonisme, menurutnya.
Lalu, jika wajah demokrasi kita bukan lagi salah satu dari dua sebagaimana disebutkan di dalam judul di atas, dimanakah ruang untuk rakyat sebagai hakikat dari sistem yang katanya dijalankan?
Tampaknya, di hari-hari mendekati pemilu lagi seperti sekarang, semakin jelas pula bahwa kondisi bangsa yang bernasib malang ini hanyalah jadi slogan untuk kepala-kepala yang jauh dari demokratis sama sekali.
Satu hal saja yang bisa penulis sampaikan untuk ke depan, yakni bukan untuk mengubah demokrasi sebab sistem ini adalah yang paling baik dari yang lain untuk Indonesia yang multikultur. Namun sebuah pendewasaan dan kecerdasan berbangsa dan berpolitik sehingga tubuh negara demokrasi ini tidak lagi cacat karena tanpa kepala atau karena tanpa kaki yang dipotong kepalanya. [a]
KOMENTAR