Tingkat minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data dari Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Barangkali rendahnya minat baca inilah yang menyebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain.
Data dari Human Development Indeks menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 108 di dunia dari segi kualitas SDM. Sedangkan minat baca menjadi penentu kualitas SDM. Jika minat baca penduduk di suatu negara tinggi, tentu kualitas SDM-nya juga akan mumpuni dan berpotensi menjadi negara maju.
Contohnya adalah Jepang. Negeri matahari terbit itu memiliki budaya membaca yang baik. Di Jepang, satu orang bisa membaca lebih dari 10 judul buku pertahun. Sehingga wajar jika Jepang menjadi salah satu negara maju di dunia.
Berbeda jauh dengan Indonesia. Survei UNESCO tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca masyarakat Indonesia berada pada level 1:1000. Artinya, dari 1000 orang, hanya satu orang yang rajin membaca. Lebih lanjut, UNESCO juga mengungkapkan rata-rata satu orang di Indonesia tidak sampai membaca satu buku pertahun. Ironis sekali bukan?
Padahal membaca merupakan kegiatan penuh manfaat. Dr. Seuss, penulis Amerika mengatakan, “Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak hal pula yang kamu ketahui.” Dengan membaca, kita dapat memperkaya pengetahuan dan wawasan tentang segala hal yang ada di dunia ini. Begitu juga sebaliknya, tanpa membaca, jangan harap menjadi seorang cendekiawan yang berwawasan luas.
Ancaman Internet
Perkembangan zaman memang tidak bisa dibendung. Kehadiran internet mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Terbukti, data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan jumlah pengguna internet di Indoensia pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta orang. Sementara pada tahun 2017 bertambah menjadi 143,26 juta orang.
Dari sekian banyak pengguna internet, media sosial menjadi jenis konten yang paling banyak diakses, yaitu dengan angka 129,2 juta orang. Itu menjadi hal wajar. Pasalnya, media sosial menyediakan fitur dan layanan yang menggoda masyarakat. Selalu terdapat upgrading dari pemilik perusahaan dengan tujuan pengguna merasa lebih puas.
Namun di sisi lain, penggunaan media sosial berlebihan tentu dapat mengundang candu. Kimberly Young dalam teori internet addiction menyebutkan, salah satu kategori pencandu internet adalah cyber relation ship addiction, yaitu seseorang yang hanyut dalam pertemanan di dunia maya. Jika sudah terlalu asyik, pencandu media sosial akan sulit melepaskan smartphone dari genggaman tangan. Imbasnya, kegiatan membaca buku sudah jarang ditemukan lagi. Kondisi ini menjadi penyebab minat baca masyarakat Indonesia semakin terpuruk. Maka tak heran jika kualitas SDM negara kita masih saja rendah.
Budaya Pragmatis
Sebenarnya perkembangan teknologi mempunyai sisi positif. Melalui internet, kita bisa mengakses segala informasi dan pengetahuan dengan mudah. Namun di sisi lain, internet menjadi ancaman serius. Apabila tidak bisa mengontrol penggunaannya, maka bersiaplah untuk mengahadapi madlaratnya.
Salah satu dampak yang ditimbulkan yakni budaya pragmatis pada kalangan pelajar. Misalnya, mahasiswa mengerjakan tugas hanya sekadar copy-paste dari internet. Dengan metode seperti ini, proses transfer ilmu tidak akan berjalan. Tidak hanya itu, bahkan saat pembelajaran berlangsung, tidak sedikit para mahasiswa mengabaikan dosen. Mereka asyik dengan smartphone-nya sehingga tidak menguasai materi kuliah.
Kondisi demikian akan berimbas ketika sudah terjun ke dunia nyata. Setelah lulus dari kuliah, mahasiswa tipe ini akan kesulitan dalam bersaing. Dalam dunia kerja, skil dan pengetahuan menjadi hal penting. Jika tidak punya skil dan pengetahuan, sebuah perusahaan tidak akan menerimanya menjadi karyawan.
Mengatasi hal ini, tentu diperlukan kesadaran lebih dari masyarakat. Bahwa membaca adalah unsur penting dalam membangun perabadan. Bangsa Indonesia lahir karena pemikiran dan perjuangan dari para kutu buku, seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Andai saja masyarakat Indonesia mempunyai rasa haus ilmu seperti Bung Hatta, pasti tingkat SDM semakin baik.
Pesatnya perkembangan zaman sebenarnya menjadi ladang untuk menumbuhkan budaya membaca. Dalam hal ini, internet dapat dijadikan sumber untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan. Segala hal pasti dapat diketahui lewat internet. Saat ini juga tersedia jurnal-jurnal dan buku dalam bentuk digital (e-book) yang bisa dimanfaatkan untuk menunjuang pendidikan. Namun internet selamanya akan tetap menjadi ancaman jika masyarakat tidak bijak dalam penggunaannya.
Rendahnya minat baca masyarakat membuat kualitas SDM di Indonesia kurang mumpuni. Secara beriringan, internet telah menjadi momok yang menjauhkan masyarakat dari buku dan kegiatan membaca. Jika masalah ini tidak segera diatasi, bagaimana kualitas SDM dan nasib bangsa Indonesia ke depan? [Athok Mahfud]
*Opini ini pernah dimuat di Tribun Jateng edisi Kamis, 21 Februari 2019.
KOMENTAR