gambar: unsplash.com |
Beberapa pasal dari 19 'pasal karet' tersebut adalah pasal 5 yang berisi beberapa larangan bagi para musisi: dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif. Pasal 32, tentang lisensi musisi Indonesia yang harus lulus sertifikasi. Dan pasal 42, "pelaku usaha di bidang perhotelan, restauran, atau tempat hiburan lainnya, wajib memainkan musik tradisional di tempat usahanya."
Dari klausul-klausul ambigu di atas, sebanyak 260 musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menentang RUU Permusikan. Dalam usahanya, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan telah membuat petisi di bawah platform Change.org. Hingga saat ini, petisi tersebut telah ditandatangani sekitar 244 ribu masyarakat Indonesia.
Mereka ramai-ramai mengkritik RUU Permusikan yang diusulkan oleh Komisi X DPR RI tersebut. Cholil Mahmud, personel band Efek Rumah Kaca mengatakan, "Pasal-pasal itu bisa buka ruang buat persekusi dan bertolak belakang dengan kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 45". Menurutnya, terdapat poin-poin yang multi-tafsir seperti; menista, menodai, melecehkan, dan memprovokasi.
Di samping itu, pasal 32 RUU Permusikan juga rentan diskriminasi musisi otodidak sebab harus melewati tahap ujian terlebih dahulu. Pasal 45 juga terdengar ganjil. Bukan karena lagu tradisionalnya, namun mewajibkan lagu tradisional dimainkan di tempat-tempat tersebut terkesan begitu naif sebab tidak semua tempat cocok dimainkan lagu tradisional.
Seni adalah hal yang bersifat subjektif. Seniman merefleksikan apa yang dialami dalam hasil karyanya. Tidak seharusnya RUU mengatur bagaimana cara mengatur cara orang berkesenian.
RUU Permusikan Belenggu Kebebasan Berekspresi Musisi
19 'pasal karet' RUU Permusikan bertolak belakang dengan semangat kebebasan dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI, UUUD 45. Dalam konteks ini, penyusun RUU Permusikan telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalam negara demokrasi, dan justru menciptakan iklim negara otoritarian. Hal tersebut berpeluang untuk membatasi dan menyeragamkan selera bermusik.
Di zaman Orde Lama, pemerintahan mantan presiden Soekarno melarang musik Rock n Roll berkembang di Indonesia yang berujung pada pemenjaraan Koes bersaudara. Kemudian, pada masa pemerintahan presiden Soeharto, musisi Virgiawan Listianto alias Iwan Fals sempat diinterogasi oleh militer selama 12 hari dan dikenai wajib lapor selama dua bulan gara-gara lagunya yang berjudul 'Demokrasi Nasi' dan 'Mbak Tini'. Khusus tentang lagu 'Mbak Tini', Iwan Fals dituduh menghina Ibu Negara Tien Soeharto dan Presiden Soeharto.
Lantas, akankah kita ingin kembali mencicipi masa kegelapan di mana seni tidak lagi jadi merdeka? Masa di mana seni dicurigai sebagai media propaganda kontra pemerintah? Masa di mana seni dibungkam tidak dapat menggaungkan suaranya?
Tujuan dibuatnya RUU Permusikan harusnya fokus untuk melindungi para musisi, bukan malah mengancam dan berpotensi membelenggu kreativitas musisi dan pekerja seni. Seyogyanya, DPR RI merancang peraturan yang lebih mengatur industri musik Indonesia, bukan malah menertibkan proses dan karya musisi itu sendiri.
Penyusun RUU Permusikan Tak Kenal Industri Musik
Ketidakjelasan RUU Permusikan tersebut tidak luput dari peran para penyusun di belakangnya. Pasalnya, para penyusun RUU Permusikan adalah mereka yang sama sekali tidak berkecimpung di industri musik. Pengarahnya adalah K. Jhonson Rajagukguk (Kepala Badan Keahlian DPR RI), dengan penanggung jawab Inosentius Samsul. Diketahui, hanya Anang Hermansyah lah satu-satunya musisi yang terlibat dalam pembuatan RUU tersebut. Sebab, ialah anggota Komisi X DPR RI.
Selain pasal karet yang dikritik, RUU Permusikan ini juga dinilai mubazir sebab sejumlah aturan telah tercantum dalam draft UU No.28 tahun 2014 tentang hak cipta. Sementara RUU perihal musik tradisional akan tumpang tindih dengan UU No.5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Penanggung jawab tim kerja penyusunan naskah akademik RUU Permusikan, Inosentius Samsul mengaku, timnya kekurangan referensi dan perspektif sehingga perlu kritikan dan masukan dari para musisi dan elemen masyarakat lainya.
Keganjilan RUU Permusikan ini tampak bermasalah sejak penyusunan naskah akademik. Selain tidak melibatkan para musisi, naskah akademik tersebut juga memasukkan unsur yang berpotensi menjadi 'pasal karet'. Menanggapi hal tersebut, Anang Hermansyah, selaku perwakilan musisi dalam tubuh Komisi X DPR RI mengatakan,
"Saya sungguh senang, saat ini semua pihak berkomentar atas materi RUU ini. Partisipasi masyarakat memang menjadi unsur penting dalam pembuatan sebuah UU, sebagaimana tertuang dalam UU no.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," katanya.
RUU Permusikan: Tolak atau Revisi?
Tujuan awal RUU Permusikan dibentuk adalah untuk mengakomodir musik jalanan, tradisional, dan lainnya, sehingga bisa terhubung dalam satu ekosistem permusikan dan perhubungan yang dijaga. Maruar Sirait, Komisi XI DPR RI, mengatakan bahwa hak cipta dan kehidupan seniman di Indonesia harus dilindungi Undang-undang. Sebab itu, RUU Permusikan diharapkan membahas tentang tata kelola industri agar memberi manfaat kepada penggiat musik.
Namun, begitu draft RUU Permusikan selesai digarap, para musisi seolah tercurangi dengan esensi draft RUU yang salah arah. Alih-alih membuat industri musik maju, malah mempersulit dan merugikan musisi. Abanggara, Institute For Criminal And Justice Reform, mengatakan jika ingin merumuskan Undang-undang tidak harus selalu disertai pelarangan, sebab jika seperti itu yang ada klausul dalam undang-undang malah menjadi 'pasal karet'.
Adanya Undang-undang Permusikan sejatinya bukan hal yang asing bagi industri musik. Beberapa negara telah memberlakukan aturan Undang-undang Permusikan di negaranya. Hanya saja yang jadi garis bawah, mereka tidak mengatur terkait konten dan lebih fokus ke persoalan teknis.
Di Singapura, aturan pemerintah tentang musik masih berkutat pada hal-hal teknis dari hak cipta, pembajakan, hingga izin bermain di muka umum. Sementara Jepang membentuk Undang-undang hak cipta yang memungkinkan tersedianya banyak rental penyewaan cd musik secara legal. Amerika berfokus pada Undang-undang modernisasi musik yang membantu musisi memperolehbayaran yang layak dari kehadiran layanan streaming.
Etnomusikologi Institut Seni Indonesia, Aris Setyawan, meminta koalisi X DPR RI merombak total 19 'pasal karet' yang terdapat dalam RUU Permusikan. Jika tidak, ia meminta RUU tersebut dibatalkan saja. Menurutnya, RUU Permusikan seharusnya hanya mengatur soal tata industri saja, bukan konten musiknya. Dengan mengatur pelarangan hingga ke konten, hal tersebut akan membuat musisi jadi rawan dipidanakan.
"Harusnya tegaskan hukum soal pembajakan, peredaran musik, dan pengadaan fasilitas. Bukan ngatur cara musisi berkarya," pungkasnya. [Ansel]
KOMENTAR