Gambar: kaskus.co.id |
Imam Bukhari, seorang ulama perawi hadis yang mashur, dan masih bersinar hingga sekarang. Tetapi masih jarang yang tahu bahwa ia bukan termasuk seorang yang sempurna secara fisik, serta saat usia dua tahun, ia harus berpisah dengan ayahanda selamanya di dunia. Semenjak ditinggal oleh ayahandanya, ia menjadi anak yatim yang harus tabah hidup bersama ibundanya.
Dua tahu sepeninggalan dari ayahandanya, kemudian datang sebuah musibah lagi kepadanya. Ia ditimpa penyakit buta. Penglihatan yang semestinya menjadi modal dasar untuk melihat dunia secara luas ini menjadi tidak bisa dirasakan lagi oleh Bukhari. Ibundanya mencoba mencari pengobatan kemana-mana tetap saja ia belum kunjung bisa disembuhkan.
Akan tetapi dibalik keterbatasan ini, ternyata Allah memberikan anugerah yang lain kepada Bukhari. Ia dikaruniai kemampuan kecerdasan yang luar biasa daripada anak-anak usia seumurannya. Setiap Allah mengambil sedikit nikmat dari seseorang, bukan berarti itu merupakan sifat ketidakadilan Allah sebagai sang Pencipta. Tetapi Allah akan memberikan satu kelebihan kepadanya yang lebih unggul daripada manusia pada umumnya.
Umumnya manusia mengeluh tentang kekurangan dirinya, sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Padahal setiap manusia memiliki cacat-cacat yang berbeda-beda. Mengeluh saja itu merupakan sebuah kecacatan. Orang yang diberikan kesempurnaan fisik belum tentu mereka bisa memanfaatkan atau mensyukuri atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada dirinya, dan mengeluh itu sebuah alih-alih untuk bermalas-malasan belaka.
Kembali kepada peristiwa yang menimpa Bukhari tadi. Jika ia mengaggap penyakit buta mata itu sebuah kecacatan yang disikapi dengan bermalas-malasan. Tentu barangkali ia bukan seorang ahli hadis yang kita kenal sekarang ini. Mungkin nama Bukhari saja tidak menggema hingga ke telinga-telinga kita. Penyikapan terhadap apa yang berbeda akan mengeluarkan hasil yang berbeda pula.
Kemarin saya melihat nenek-nenek yang buta berjalan di sepanjang Ngaliyan sambil membawa kotak bertulisakan "Sumbangan Untuk Tuna Netra". Selang sekitar lima belas menit lagi ada bocah kecil usia sekitar usia lima tahun tuna rungu lagi, berjalan lewat di jalan yang sama seperti nenek yang disebutkan tadi, dan juga membawa kotak yang bertuliskan sama. Fenomena ini merupakan contoh perbedaan cara menyikapi apa yang telah diberikan oleh Tuhannya. Mungkin kita hanya melihat secara zahir saja, akan tetapi belum tahu juga apa yang sebenarnya terjadi.
Coba kita lihat saudara-saudara kita yang kekurangan fisik. Tidak malukah kita sebagai manusia yang dikaruniai fisik lengkap, tapi tidak mempergunakannya dengan bijak untuk perbuatan yang baik dan bermaslahat bagi sesama. Lihatlah atlet Para Games yang mengolah keterbatasan fisik mereka dengan hal-hal yang dapat menjadi sebuah prestasi yang lebih baik. Itu dapat dijadikan motivasi semangat baik yang dikaruniai fisik utuh maupun yang terbatas. Manusia diberi nikmat fisik yang berbeda-beda, pasti ada kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Ubah mindset kita, mulai bangun dengan sikap melakukan perilaku-perilaku positif. Sesungguhnya cacat bukan alasan untuk menyerah, manusia aslinya sama-sama mempunyai kekurangan. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita memandang hidup. Cacat bukan alat untuk mempertanyakan di mana letak keadilan Tuhan. Karena Tuhan memiliki sifat "al-adlu", yang Maha Adil dari segalanya.
Sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah, dalam al-Quran; Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada juga di antara mereka ada yang pertengahan, dan ada juga di antara mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan atas izin dan karunia Tuhannya, (QR. al-Faatir: 32). Bukankah orang yang melakukan kebaikan itu akan mendapatkan balasan yang lebih baik, sedangkan yang melakukan keburukan akan mendapatkan imbalan yang lebih buruk? [SAE]
KOMENTAR