![]() |
unsplash.com |
Fenomena lemahnya budaya membaca di tengah masyarakat, menjadi keprihatinan banyak pihak. Padahal, semangat membaca telah dicontohkan para ulama dan cendekiawan terdahulu. Tidak hanya membaca namun mendalami bacaan secara serius, dalam bahasa Arab disebut muthola’ah. Para ulama terdahulu selalu menyempatkan waktu untuk membaca dan mendalami berbagai karya ilmiah (kitab kuning). Tidak mungkin mereka mewariskan sejumlah karya ilmiah tanpa memiliki budaya membaca yang serius.
Nampaknya generasi saat ini yang dikuasai oleh konsumerisme dan hedonisme kurang memiliki semangat membaca. Jika budaya membaca dari satu generasi ke generasi selanjutnya tidak menunjukkan progres yang menggembirakan, bagaimana mungkin mampu mencetak peradaban yang mengagumkan. Akibatnya tidak ada warisan karya ilmiah apapun yang ditinggalkan untuk generasi mendatang.
Perkembangan teknologi saat ini lebih banyak berbentuk audio, visual, maupun perpaduan antara keduanya. Hal ini membuat masyarakat menjadi manja dengan kebiasaan menonton dan mendengarkan, ketimbang semangat membaca. Lebih senang menonton sinetron dan reality show di layar televisi, atau mendengarkan pidato, khutbah, debat, dan lainnya.
Masyarakat lebih senang mendengarkan ceramah, apalagi yang lucu dan seru, daripada membaca untuk menggali ilmu pengetahuan. Bagi yang memiliki semangat membaca akan dikatakan “kutu buku” yang kadang diasingkan dari lingkungan sekitarnya. Singkat kata, bahwa generasi saat ini masih miskin bacaan.
Banyak ungkapan yang bisa dijadikan motivasi pentingnya semangat membaca. Antara lain tulisan yang terpampang di dinding perpustakaan seperti, “membaca membuka jendela dunia" atau "membaca membuka wacana”, serta ungkapan lain untuk mengilustrasikan betapa pentingnya membaca. Bahkan para praktisi pendidikan asal Kamboja pernah berkunjung ke salah satu kabupaten di Jawa Tengah, untuk memantau komitmen masyarakat dalam menciptakan kultur membaca yang mendukung keberhasilan kegiatan belajar dan mengajar (KBM).
Dalam pengamatan tersebut, masyarakat telah mampu memotivasi sekolah dan lingkungan sekitar untuk menciptakan sebuah manajemen pembelajaran yang baik dan bisa diterima semua pihak. Salah satu faktor keberhasilannya adalah menciptakan budaya baca bagi siswa, bahkan secara berkala dipilih seorang duta baca. Praktiknya, setiap siswa diwajibkan membaca minimal 10 menit sebelum kegiatan belajar dan mengajar dimulai.
Praktisi pendidikan asal Kamboja itu akan menerapkan hasil penelitian tersebut ke negaranya. Tujuannya, meningkatkan kesadaran dan prestasi belajar di sekolah dan masyarakat. Sebab manajemen sekolah yang lebih terbuka dan budaya membaca yang konsisten, menjadi kunci keberhasilan penerapan pendidikan di sekolah.
Berbagai ajang lomba perpustakaan, baik di lingkungan sekolah dan masyarakat, mestinya mampu memotivasi mereka akan pentingnya budaya membaca, di manapun dan kapanpun. Apalagi bagi pelajar dan mahasiswa yang dituntut untuk selalu mempelajari hal-hal baru. Sudah tentu budaya membaca menjadi bagian tak terpisahkan dalam aktivitas sehari-hari.
Sementara di negara-negara maju, etos membaca telah menjadi tradisi sebagian besar warganya. Di tempat-tempat umum, seperti terminal, stasiun, bandara, bahkan halte pinggir jalan, mereka tetap membawa buku untuk dibaca dan mendalami ilmu pengetahuan. Tidak mengenal usia atau pun kelas sosial.

Peradaban Kosmopolitan
Kejayaan peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah di Baghdad tidak terlepas dari tradisi dan etos membaca para cendekiawan muslim. Keinginan kuat meningkatkan kualitas diri dan membuka cakrawala dunia menjadi karakter kosmopolitanisme, semakin menggugah jiwa untuk menjadikan tradisi membaca sebagai bagian terpenting dalam kehidupan. Didukung kemampuan bahasa dalam melakukan penterjemahan karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Romawi ke dunia Islam. Langkah itu berhasil mengubah wajah peradaban Islam secara komprehensif.
Tradisi tersebut melahirkan cendekiawan muslim yang tersohor di bidang masing-masing dengan menampilkan karya fenomenal yang menjadi rujukan generasi berikutnya. Hal itu diawali dengan tradisi membaca dan menulis yang terus diasah setiap saat selama beberapa generasi. Mestinya saat ini dengan semakin terbukanya akses untuk menggali ilmu pengetahuan, baik digital maupun manual, akan mampu menghasilkan generasi yang berkualitas. Ditandai dengan karya yang bisa dinikmati generasi sekarang dan masa depan.
Maka dari itu, perintah membaca bagi cendekiawan muslim, M. Quraish Shihab, tidak semata-mata ditujukan kepada Nabi Muhammad. Melainkan juga untuk seluruh umat manusia sepanjang peradaban manusia masih berlangsung. Realisasi dari perintah Tuhan tersebut menjadi pembuka jalan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Kata iqra’ yang terambil dari kata qara’a pada mulanya berarti “menghimpun”. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “bacalah”. Perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis untuk dibaca. Tidak pula diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.
Dalam kamus bahasa Arab, dijumpai beraneka ragam arti qara’a. Antara lain, menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya. Semuanya dapat dikembalikan kepada hakekat “menghimpun” dari arti kata tersebut.
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab, tentang kata qara’a dalam al-Qur’an terulang sebanyak tiga kali. Masing-masing dalam surat ke-17 ayat 14 serta surat ke-96 ayat 1 dan 3. Adapun kata turunan dari akar kata tersebut, terulang sebanyak 17 kali, selain kata “al-Qur’an” yang terulang sebanyak 70 kali. Maka membaca menjadi perintah yang paling berharga, sebagai jalan mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna.
Tidak berlebihan bila dikatakan, membaca adalah syarat utama membangun peradaban. Semakin luas pembacaan ilmu pengetahuan, semakin tinggi peradaban. Maka, suatu saat nanti manusia bisa menyandang predikat sebagai “makhluk pembaca”, selain “makhluk sosial” atau “hewan yang berpikir”.
Melalui tradisi baca-tulis, manusia telah berhasil melahirkan 27 peradaban terbesar dunia sepanjang masa, terbentang mulai dari Sumeria hingga peradaban modern masa kini. Dengan demikian, membaca merupakan syarat utama atas keberhasilan umat manusia. Apalagi bila tradisi membaca dibarengi dengan tradisi menulis, semakin memacu dinamika intelektual dalam membangun peradaban umat manusia yang berkualitas secara dhohir maupun batin. [A. Fuadi]
*) Dosen UNSIQ Wonosobo Jawa Tengah, artikel ini pernah dimuat di Majalah IDEA edisi 40 "Silat Radikalisme di Dunia Maya"
KOMENTAR