Selamat pagi Ibu, saat ini aku sedang menapaki boulevard kampus yang teduh, sementara embun juga belum habis menguap. Aku teringat padamu Ibu, sungguh belum pernah aku dicekam rasa rindu semacam ini begitu kuat mendorong dan terasa sesak. Ada keinginan kuat bahwa apa yang sekarang ada di hadapan Ibu juga dapat menikmatinya, Menikmati tidak sebatas kemerdekaan tetapi semua yang diijinkan untuk dinikmati.
Betapa berharganya seorang Ibu tatkala kita telah dipisahkan oleh rentang jarak dan waktu. Dalam gejolak kangen bait bait puisi Rendra kembali terngiang,
Ibuku cuma satu
tetapi wajah hatinya
kulihat serba di mana
Ibuku cuma Ibunda
antara kami ada pesona
rengkuhan kuat terasa gaib
dan terasa dariku seperti lumut
ganggang laut
panjang terentang menyibak mata
air
mengembara dengan ketumbuhan
pucuknya
tetapi akarku tetap meng hujam
kedada bunda
Ibuku cuma satu
tapi wajah hatinya
kulihat serba dimana
Di mana aku melangkah yang tampak wajah hati Ibu, wajah hati yang memahami lebih banyak meskipun lbu rela mengetahui lebih sedikit. Zaman yang harus terus bergerak, maka ketika kaummu mempertanyakan banyak hal dan mestinya jawaban itu tidak cukup dengan gula-gula dari kotak ajaib (televisi-red).
Ibu, terkadang aku berpikir betapa beruntungnya makhluk yang bernama laki-laki. Mereka dapat mendudukkan dirinya lebih pada sebuah tatanan yang ada. Laki-laki boleh memberi label apapun kepada perempuan, tetapi begitu sebaliknya maka si perempuan itu akan dipertanyakan habis-habisan menyangkut siapa dia.
Ketika kami berbicara, kami tidak dinilai sebagai seorang manusia yang berpikir dan berhak mengeluarkan ide pikiran kami, tetapi kami selalu dilihat sebagai perempuan yang baru bicara di mana sepanjang masa kami harus selalu memperjuangkan keberadaan kami.
Ibu, mata hati yang dapat memahami lebih banyak meskipun mengerti lebih sedikit tanpa harus melupakan kodrat sebagai perempuan, istri, dan Ibu. Hal di atas tidak akan kami perpanjang. Kami tidak mau terus terjebak dalam romantisme kesedihan dan kepasrahan. Zaman sudah menganggap kami partner bukan semata obyek.
Meskipun kami telah bergerak pada banyak hal, dan hanya sebagian dari kami telah berdiri di garis depan, sementara dari kami harus meniti pelan dari belakang. Pemenuhan kebutuhan hidup yang kami lakukan dianggap tak berarti, karena bahwa itu bukanlah pencari nafkah utama sementara banyak diantara kami dipandang lebih baik daripada mengganggur, semata bekerja dan bukan manusia yang sama kedudukannya.
Karena kami perempuan, itu lebih baik, perlakuan yang hanya satu sisi tanpa sisi lain dengan standar bahwa kami akan "menerima" berapa pun upah yang kami terima. Sementara dalam perlakuan kerja kami harus sebanding dengan resiko laki-laki.
Sementara resiko lain yang ada dianggap cocok dan menjadi ciri khas pada biro pelayanan masyarakat. Padahal banyak hal yang kami lakukan adalah upaya pengaktualan dan pemberdayaan diri. Kami juga mengerti dan sadar kodrat yang melekat pada kami. Apa yang telah diciptakan Sang Pencipta pada kami itu adalah kedudukan yang sangat terhormat. Dan itu bukan berarti bahwa kami merasa lebih dari makhluk lain.
Rahim adalah mikrokosmos layaknya hamparan bumi nan luas, sedang janin yang akan menempati adalah makrokosmos dan itu adalah kesatuan dan kehebatan Pencipta. Kami juga percaya lbu, asal usul keturunan harus dijaga kemurnian dan kesuciannya Sehebat teknologi yang ada tentu kita sebagai manusia adalah pelaksananya, tak baku aturan yang mengikatnya.
Ibu, mata hati yang dapat memahami lebih banyak meskipun mengerti lebih sedikit tanpa harus melupakan kodrat sebagai perempuan, istri, dan Ibu. Ibu menjadi Pahlawan karena pelajaran menyurat Ibu, sebagai media penyalur aspirasi. Kami harus menulis dan menyebarkan ide kami agar jalan sejarah tentang keterbelakangan perempuan tidak semakin panjang. Tentu menulis dan bersuara dengan tujuan jelas, jika tidak itu berarti kami "ngotot bertarung dengan laki-laki tanpa mengukur diri.
Ibu, mata hati yang dapat mengerti lebih banyak meskipun mengetahui lebih sedikit tanpa harus melupakan kodrat sebagai perempuan istri, dan Ibu [Umex]
*Tulisan ini pernah dimuat dalammajalh IDEA Edisi 8 tahun 1997
KOMENTAR