Arah paparan cahaya matahari beranjak ke timur. Di langit, berlawanan dengan arah terpaan matahari, tampak gumpalan mega kelabu mulai menyapu warna langit yang bersepuh kuning keemasan, disertai sepoi angin barat yang membawa aroma basah.
Sapuan mega kelabu itu lama kelamaan makin luas geraknya, namun matahari tetap tenang berjalan tak berniat menghindar. Mungkin, baginya tak masalah jika bergumul dengan mega kelabu Kumulonimbus sebelum pulang menuju tempat peraduan.
Sebentar lagi hujan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Cuaca yang mulai berganti memaksa orang-orang di taman segera mengakhiri aktivitas mereka.
Ada ibu memaksa anaknya menyudahi bermain layangan, si anak menangis. Tak biasanya angin membawa layangan terbang begitu tinggi, tanggung jika permainannya harus diakhiri, kira-kira mungkin begitu pikiran si anak.
Mereka yang sedang berpiknik, satu per satu menggulung tikar dan meringkasi barang bawaan mereka. Pun juga dengan para pedagang kaki lima mulai menutup jualan gerobak mereka. Seorang bocah merengek pada penjual balon yang mendorong gerobaknya menjauh dari taman.
Begitu hiruknya tempat ini. Wajar saja, taman seluas enam ratus meter persegi ini adalah satu-satunya paru-paru kota yang mulai merangkak jadi tempat industri. Seorang kontraktor asing menawarkan diri jadi donatur pembangunan taman. Ia merasa berutang budi, katanya. Entah benar utang budi atau merasa bersalah karena telah menanduskan kota yang dulu asri. Jelasnya, setahun setelah dibukanya wacana, taman kota pun jadi.
Meski taman kota, tapi ia tidak berada di tengah kota seperti alun-alun. Taman ini letaknya di pinggir kota bagian tenggara yang struktur tanahnya landai. Bentuknya yang melingkar dengan kolam berdiameter tigapuluh meter sebagai pusat taman, dilingkupi lapangan berumput hijau dan hutan kota, tentu menjadikan taman ini tempat yang asyik untuk melepas penat dan bersantai. Apalagi ialah satu-satunya.
Bagian favoritku dari taman ini adalah tempat yang letaknya ada di dataran tinggi taman kota. Di sana ada sebuah kursi panjang di bawah pohon mahoni, tempat yang sekarang ini kududuki. Dari sini, aku dapat melihat tampilan keseluruhan taman dan leluasa mengamati bagaimana tingkah orang-orang yang ada di dalamnya.
Jarang ada orang menjelajahi taman sampai ke tempat ini. Biasanya cuma pelari yang mengajak binatang piaraannya jalan-jalan, atau sepasang muda-mudi kasmaran yang sengaja menempati bagian taman agak ke dalam dengan pepohonan rindang.
Setetes titik air turun dari langit. Aku sedikit terkejut ketika ia mengenai telapak tanganku. Kutengadahkan kepala, deretan titik-titik air susul menyusul turun ke bumi. Hujan datang, awalnya ia tak membasahi tubuhku sebab terlindung rindangan pohon mahoni, namun semakin lama titik-titik air itu datang memburu juga. Aku basah.
Beberapa saat kudengar kecipak kaki milik mereka yang membawa binatang piaraan berlari-lari menerjang hujan cari tempat perlindungan, tapi aku tidak. Jangankan hujan, badai atau topan datang pun tak akan jadi soal buatku. Aku akan tetap ada di tempatku. Sungguh pun begitu, sebab aku berjanji akan menunggu dan aku tak berniat merusak janji itu.
Selalu di penghujung minggu, dari siang melingsir hingga senja menjelang, aku menunggumu di taman kota. Sengaja kupilih tempat di dataran tinggi agar lebih mudah menemukanmu, atau sebaliknya, kau yang menemukanku.
Bosankah aku? Tidak sama sekali. Waktuku menunggumu kugunakan untuk menggambarkan kau dalam imaji pikiranku. Bagaimana bentuk wajahmu ketika tersenyum, ketika sedih, ketika marah, ketika kesal, bahkan ekspresi-ekspresi lain yang mungkin akan kau tampakkan padaku.
Aku tak punya waktu lain selain hari itu memikirkanmu. Bukan karena apa. Hidupku tentu tak cuma berputar menunggumu. Aku perlu bekerja, memikirkan hal lain. Kemampuan otakku tak baik jika digunakan memikirkan dua hal bercabang sekaligus, jadi harap maklum. Lagi pula, kupikir cukup memikirkanmu sepanjang penghujung minggu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, hampir seperti puasa saja.
Samar-samar kudengar kembali suara kecipak kaki berlari di jalan setapak taman. Aku menoleh ke arah jalanan itu dan kulihat bayanganmu dari kejauhan. Kau berlari dalam kecipak kaki yang beradu dengan genangan air, seperti orang yang tak tahan dengan turunnya hujan, sambil membawa tudung payung yang besarnya hampir setara dengan tubuh mungilmu.
Aku melihat senyum yang terkembang di bibirmu begitu tahu jika aku masih menunggu.
Kau mengenakan sweater warna biru yang hampir memudar. Rambut merah panjang kau ikat sembarangan dengan poni acak-acakan, tak tertata. Kau terengah menghampiriku dan keringat sebesar jagung muncul disekitar keningmu, meski sekarang udara dingin. Kau menyodorkan tudung payung sambil menyunggingkan senyum. Sebuah lesung pipit muncul di pipi sebelah kiri dan kedua matamu menyipit bias senyuman. Kira-kira bagaimana jadinya, jika aku kabur ketika matamu menyipit seperti itu?
Kau tanya, berapa lama aku menunggu hingga kacamata yang kupakai berembun setebal itu? Aku pasti sangat merindukanmu, godamu.
Aku hanya tersenyum. Kau takkan tahu berapa sering aku merindukanmu. Pernahkah kau hitung denyut pada detak jantung? Sebanyak itulah aku merindukanmu*. Namun hanya kukulum pernyataan itu dalam batinku.
Kau mengulurkan tangan, mulai mengajakku pergi. Janjimu, kau telah menyiapkan secangkir cokelat panas di apartemen. Aku pun mengiyakan. Bahkan sebelum kurasa cokelat panas yang kau janjikan, kehangatan mulai menjalari tubuhku hanya dengan hadirnya kau saja.
Dengan mantap, kujulurkan tanganku meraih tanganmu. Namun, aku cuma mendapat udara kosong. Tak ada kau di situ! Kau hilang, begitu pun dengan tudung payung yang kau gunakan memayungiku.
Aku pilon seperti anak yang tertipu trik sulap murahan ketika si pesulap menghilangkan kelinci dari dalam topi. Sialan! Umpatku dalam hati. Aku menunduk sejenak. Aih, jadi kau yang kulihat tadi hanyalah imaji? Ilusi yang muncul dari pojok pikiranku sendiri.
Hujan masih jatuh ke bumi. Sambil menepuk wajah, aku malah terkekeh geli, merasa terkecoh dengan diri sendiri. Kutadahkan wajah ke langit. Rasanya titik hujan tajam merasuk, menembus pori-pori kulit. Aku menghela napas panjang. Tampaknya aku harus menunggu lebih lama lagi. [Sophero]
(*Puisi Dee Lestari pada novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh).
KOMENTAR