Sedari kecil bahkan hingga sekolah sekolah tinggi, tidak sedikit dari kita yang merasakan suatu kejenuhan terhadap cara kurikulum pendidikan kita dalam mengajarkan tentang Pancasila dan kewarganegaraan agar masuk ke dalam diri individu bangsa. Entah faktor apa yang melatarbelakangi kejenuhan pemahaman akan hal tersebut. Yang pasti ada banyak faktor.
Dari pelajaran yang hanya itu-itu saja, sistem, pengajaran guru yang menjemukan, tidak ada inovasi dan lain sebagainya. Tidak sedikitpun terbesit niatan untuk menyalahkan ini dan itu mengenai proses kita mempelajari pentingnya ilmu kewarganegaraan khususnya Pancasila. Ideologi bernegara kita ini memang hanya sering dijadikan tuntutan untuk dihafalkan saja. Namun apakah dengan menghafal mampu membuat hal tersebut masuk dan dihayati serta dipraktikkan dalam kehidupan nyata, dalam berbangsa dan bernegara?
Terbukti, jika melihat ribuan ulasan dalam bentuk tulisan artikel, pidato, dan lain-lain mengenai nilai-nilai luhur Pancasila dan usaha pembelajaran yang sudah dilakukan sedari Sekolah Dasar (SD), masih saja situasi dan kondisi bangsa dan negara ini dalam dilema yang sebaliknya yakni dalam ancaman perpecahan, ketidakadilan, dan lain sebagainya yang membuat kita jemu atas semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi dengan negara ini? Apakah Pancasila ini benar-benar sakti seperti yang diceritakan? Atau apakah memang bangsa ini yang menginginkan dilema tersebut terjadi di kehidupan sehari-hari?
Lima poin dalam Pancasila begitu suci, agung dan sangat ideal ketika kita baca. Namun dalam kenyataannya, semua tidak semudah berbicara. Bahkan belakangan banyak juga dari kita yang entah disengaja atau tidak terlihat mengajukan pergantian ideologi yang sudah lebih dari 70 tahun terlaksana diganti dengan Khilafah dan ideologi lainnya yang entah apa alasannya sampai terpikirkan itu.
Saya tidak akan mengulas tentang esensi dari poin-poin Pancasila itu disini, bangsa ini sudah penuh isi kepalanya mengenai motivasi nilai-nilai luhur dan sudah sangat terbiasa dengan pola definitif dalam mengkaji sesuatu. Sehingga dalam praktik atau penuangan teori yang terjadi sangat jauh dari harapan.
Yang jelas, salah satu faktor penting yang perlu direnungkan disini selain memang pemerintahan dan orang-orang yang mengaku mewakili kita di gedung megah sana masih belum juga sembuh dari penyakit, yakni tentang ego kemanusian individu maupun kelompok di negara ini.
Nilai luhur Pancasila maupun nilai luhur lainnya yang ada di kehidupan berbangsa ini, serta cita-cita mulia yang selalu diimpikan sejak kemerdekaan mungkin dapat direpresentasikan dan dicapai jika selain kita paham dan tahu mengenai pentingnya hal tersebut, juga dengan kemampuan dalam menahan ego kemanusiaan kita yang terlihat belakangan ini semakin liar. Seperti korupsi tak terkendali, Kriminalitas, Politik kekuasaan, dan lain sebagainya. Ego kemanusiaan kita seperti telah membutakan warisan nilai luhur dan cita-cita berbangsa yang ada di diri kita.
Mengenai Pancasila lagi, Aku, kamu dan kita (Indonesia yang multikultural dan didasari kemerdekaan atas nama persatuan) semua disini digambarkan dalam kelima poin Pancasila tersebut.
Tentu, merawatnya dan memperjuangkannya agar benar-benar terjadi di kehidupan sehari adalah kewajiban serta sebuah ibadah hidup sebagai manusia dalam sebuah bangsa. Peringatan Pancasila yang dilakukan setiap tahun tampaknya masih dijadikan seremonial belaka, setelah acara seremoni selesai, kembalikah egoisme kemanusian kita menempel lagi di diri kita. Teringat dua lirik dalam lagu Iwan Fals "Keinginan adalah sumber penderitaan" dan "kita hidup mencari bahagia, harta dunia kendaraannya, bahan bakarnya budi pekerti".
Ya, kebahagian dalam berkehidupan bangsa ini yang sangat kita idamkan sedari dulu. Siddartha Gautama pernah berkata bahwa bahagia adalah dia yang bisa menyelesaikan egonya. Aku, kamu dan kita adalah Pancasila itu sendiri. Sudahkah kita merenung dan mencoba memperjuangkannya dalam kehidupan sehari-hari?. [ka]
KOMENTAR