Pluralisme. Satu makna besar yang ingin disampaikan oleh penulis film “?” (Tanda Tanya), Titien Wattimena. Rilis pada April 2011, Tanda Tanya menjadi film kontroversial terkait isu sensitif toleransi antarumat beragama.
Hanung Bramantiyo, sutradara Tanda Tanya, mengangkat persoalan pluralisme di Indonesia yang dikemas dalam drama epik berlatar kehidupan masyarakat kota Semarang masa lampau. Dalam film itu, ia memasukkan peran agama-agama seperti; Islam, Kristen, Tionghoa(Konghuchu.red) sebagai obyek utama.
Cerita diawali dengan adegan pembunuhan seorang Pastur pada misa pemberkatan di sebuah gereja. Banyak spekulasi bermunculan atas kejadian tersebut, utamanya isu yang berkaitan dengan konflik antar umat Kristen dan Islam.
Di lain soal, Soleh (Reza Rahardian), pengangguran yang menganut Islam puritan, tengah dilanda krisis eksistensi di hadapan istrinya, Minuk (Revalina S Temat), sebab tak kunjung juga mendapat pekerjaan. Minuk yang bekerja di sebuah restoran Cina milik Tan Kat Sun (Henky Solaiman) membuat konflik rumah tangga mereka semakin memanas.
Lebih lagi ketika Hendra (Rio Dewanto), putra Tan Kat Sun (Henky Solaiman), turun tangan menggantikan ayahnya yang sakit dalam mengurus restoran Cina tersebut. Ritme suasana restoran Cina yang semula menghargai umat muslim mulai diubah sepihak. Pertentangan Hendra (Rio Dewanto) ini terlihat saat ia melepas tirai restoran pada bulan Ramadhan yang digunakan untuk menghormati orang berpuasa.
Paralel dengan koflik tersebut, muncul Rika (Endhita) seorang muslimah yang berpindah agama jadi Kristen. Tekanan datang dari masyarakat atas keputusan besarnya, mengingat anaknya, Abi, tidak ikut berpindah agama Kristen.
Ada pula cerita tentang Surya (Agus Kuncoro), artis figuran yang tak pernah lolos seleksi peran utama. Namun, atas tawaran Rika (Endhita) ia pun dapat peran jadi Jesus Kristus, peran yang menantang mengingat ia adalah seorang muslim.
Ibarat bunga rampai, pada awalnya hubungan antar tokoh dalam alur cerita tampak tidak saling berkaitan. Tapi kemudian terungkaplah satu persatu ikatan antar pola tersebut.
Latar belakang masyarakat Semarang yang hidup berdampingan dengan bermacam latar belakang memberi nuansa pluralisme yang dominan. Sebagai masyarakat yang hidup di negara dengan bermacam agama dan kebudayaan, sudah selayaknya pluralisme menjadi dasar kehidupan bermasyarakat tanpa memandang sebelah mata agama lain yang hidup bersama kita.
Film ini mengajarkan kita betapa pentingnya rasa saling menghormati satu sama lain. Meski ada banyak dialog yang membuat alur cerita jadi rancu dan tidak sistematis, serta kualitas akting para pemain yang kurang menjiwai. Setidaknya, film ini menguak persoalan yang sering terjadi sebab fanatisme dalam beragama.
Semua kesimpulan dalam film Tanda Tanya bisa ditafsirkan masing-masing penonton. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, seorang pemeluk agama tidak boleh mengangap agama lain sebagai agama yang salah, dan agama yang kita anut adalah paling benar. [Ainun Nafisah]
KOMENTAR