"Aku terlahir bersama kesepian, namun aku tak mau mati dalam kesepian" kata seorang pengelana suatu hari.
Kesepian sepertinya sudah ditakdirkan. Orang tak bisa memilih kesepian atau tidak kesepian. Kesepian datang dan pergi tak terduga. Tidak seperti malam dan siang yang bisa terhitung waktu. Orang bisa jadi mendadak kesepian, lalu kesepian itu mendadak pula hilang. Bahkan, Orang bisa kesepian selamanya.
Kesepian berbeda dengan kesendirian. Keramaian tak mampu menjadi obat kesepian. Ada yang mengeluh tentang kesepian. Ada yang lari dari kesepian. Ada yang menghadapi kesepian. Dan, ada yang menolak kesepian.
Nietzsche, filsuf yang dikenal sebagai ‘sang pembunuh tuhan’ sering bergumam tentang kesepian. Pemikirannya mengguncang pandangan modern, mungkin seperti kesepian yang mengguncang dirinya, atau justru seperti ia mengguncang kesepian. Mungkin kesepian pula yang membuat ia tertuduh sebagai filsuf yang murung. Tapi ia tak mengeluhkan kesepian. Justru ia memuja kesepian. Dan ia tak menghindar dari kesepian. Katanya: "Kesepian adalah rumahku."
Ada seorang filsuf muslim dari Pakistan. Namanya terkenal sampai di luar negeri kelahirannya. Ali Syari'ati menilainya seperti al-Ghazali yang terkenal itu. Namun, ia tetap merasa kesepian. Dari kesaksian anaknya yang bernama David, ayahnya sering bergumam, bahwa ia kesepian.
Ia bernama Muhammad Iqbal. Banyak dari pembacanya, mengatakan bahwa pikiran-pikiran Nietzsche merasukinya. Ya, dalam tulisan-tulisan Iqbal, beberapa kali disebut nama filsuf yang menulis buku The Birth of Tragedy and The Genealogy of Morals dan Thus Spake Zarathustra itu. Dalam bukunya yang berjudul Javid Nama, yang memiliki arti ziarah abadi, Iqbal menyebut nama Nietzsche. Iqbal juga pernah menggubah syair tentangnya:
“Jika kau nada gemulai, jangan datang menghampiri
Tangannya berlumuran darah, setelah membersihkan salib Sang Messiah
Hatinya adalah hati orang mukmin, namun otaknya kafir...”
Mungkin Nietzsche menularkan kesepian kepada Iqbal, atau mungkin kesepian yang dialami Iqbal merupakan takdir yang digariskan kepadanya sebelum dilahirkan. Mungkin sebelum bertemu Nietzsche, Iqbal sudah mengidap kesepian. Kata David, ia pernah berkata: “aku menghabiskan hari-hariku berbaring di sini, seakan-akan aku orang asing. Tak seorang pun yang datang dan duduk bersamaku”
Mereka berdua sama-sama mengaku kesepian. Nietzsche mengaku dan memuji kesepian, dan memilih mengatakan “Ya” pada kesepian sampai akhir hayatnya. Ia pernah berujar, bahwa telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal mungil yang dikelilingi samudra. Iqbal pun mengaku kesepian. Tidak seperti Nietzsche, Iqbal tidak mengatakan kesepian adalah rumahnya, walaupun ia pernah berkata, bahwa keadaan dasar jiwa manusia adalah kesepian. Ia pernah memperingatkan David saat bertengkar dengan adiknya, Munirah: “Kalau kau masih saja tidak akur dengannya, kau akan jadi orang yang paling kesepian, dan ingat, kesepian di dunia itu sama sekali tidak enak”.
Iqbal menolak kesepian, walaupun ia mengaku kesepian. Itu yang membedakan ia dan Nietzsche. Entah kenapa ia menolak kesepian. Yang jelas, Iqbal pernah bertemu Maulana Rumi. Kata Iqbal: "Maulana Rumi telah menyulap bumiku menjadi permata. Dengan tanah liat ku, ia bentuk semesta laksana surga”. Iqbal juga meminta Rumi sebagai pemandunya dalam perjalanan imajiner mengelilingi semesta, menemui tokoh-tokoh dunia masa lalu.
Pemuda pengelana itu bergumam kembali: "Aku terlahir bersama kesepian, namun aku tak mau mati dalam kesepian. Mari menolak kesepian!!!" [Za]
---
Referensi: Nietzsche karya ST Sunardi (Lkis), Javid Nama/Ziarah Abadi (Fajar Pustaka Baru), Fihi ma fihi (Forum), Materi Ngaji Filsafat Fakhruddin Faiz.
KOMENTAR