Ilustrasi |
Sarwono, pria keturunan suku Jawa dan telah menjadi dosen muda ini bertemu Pingkan pertama kali di rumah sahabatnya. Pingkan adalah mahasiswa lulusan Universitas Indonesia (UI) dan akan berangkat ke Jepang. Ia adik Toar Pelenkahu, teman SMA Sarwono. Keluarga Pelenkahu, sebutan untuk keluarga Toar, adalah keluarga keturunan Menado. Walaupun berbeda suku, Sarwono dan Pingkan tak merasa ragu untuk menjalin hubungan khusus.
“Kamu ini cengeng, Sar”. Itulah julukan Sarwono dari kekasihnya. Sarwono bahkan tak keberatan dijuluki dengan sebutan itu. Dia sendiri adalah lelaki pencinta sastra. Sudah banyak puisi-puisi yang dia tulis, dan ketika puisi tersebut dibaca oleh Pingkan, Sarwono selalu saja dihadiahi julukan cengeng oleh wanita yang dicintainya.
Keduanya berbeda keyakinan, Sarwono seorang Muslim sedangkan keluarga Pingkan adalah penganut Kristen. Keluarga Pingkan tak mempermasalahkan perbedaan tersebut, bahkan mereka mendukung hubungan keduanya. Alasannya karena ibu Pingkan sendiri ternyata keturunan Jawa. Ayah Sarwono pun menyerahkan keputusannya di tangan Sarwono sendiri.
Saat Pingkan di Jepang, Sarwono mengalami sakit paru-paru basah dan masuk rumah sakit. Padahal, mereka akan melangsungkan pernikahan setelah Pingkan pulang dari Jepang. Saat Pingkan di Jepang, Sarwono mengirimkan beberapa puisi ke surat kabar Swara Keyakinan. Keberuntungan memihak kepadanya, puisinya dimuat di koran tersebut. Belum sempat memberi tahu Pingkan, Sarwono kritis di rumah sakit karena penyakitnya itu.
“Bahwa kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun sabda bahwa ketika berpelukan mereka merasa seperti mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas, tanpa aksara, tanpa surah dan ayat, tanpa parabel, tanpa kanon, tanpa nubuat, tanpa jalan, tanpa karma, tanpa gerak, tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya diperbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun berakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah kitab suci yang tersirat. Bahwa kasih sayang beriman pada senyap.” (Hal. 45)
Kasih sayang tidak dapat didefinisikan semudah orang berbicara tentang percintaan. Kisah Sarwono dan Pingkan membuktikan hal itu dalam novel ini. Meskipun mereka berbeda suku dan agama, kasih sayang mereka datang dari dunia yang kasat mata. Kasih sayang mereka tidak dapat dibatasi hanya oleh persoalan kecil. Kasih sayang mereka terlalu luas untuk ditafsirkan.
Novel karya Sapardi ini menarik pembaca. Jika dilihat dari judulnya, bulan Juni adalah bulan musim kemarau di Indonesia. Kenapa hujan? Karena saat Sarwono masuk rumah sakit pada bulan Juni sehingga membuat sang kekasihnya, Pingkan, menangis. Terlebih mengetahui puisi Sarwono tentang dirinya yang dimuat di koran. Tangisan Pingkan diibaratkan hujan pada bulan Juni yang kering.
Sapardi menyajikan novelnya menggunakan bahasa yang tinggi. Sehingga sedikit susah untuk dipahami bagi pembaca yang kurang mengerti sastra. dan akhir dari ceritanya masih menggantung. Tak ada ketegasan bagaimana akhir kisah Sarwono dan Pingkan.
Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini telah menulis buku-buku puisi dan fiksi. Diantara buku puisinya antara lain Mata Pisau (1974), Akuarium (1947), duka-Mu abadi (1979). Sedangkan buku fiksi diantaranya adalah pengarang Telah Mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003), Sup Gibran (2011). Dan masih banyak lagi karya-karya sastranya yang luar biasa.
Kembali kepada pokok permasalahan dalam novel ini. Pernikahan antara dua orang yang berbeda keyakinan dan suku merupakan masalah besar bagi orang yang masih meyakini adat nenek moyang. Apalagi dalam Islam ada larangan pernikahan beda agama, dan pernikahan tersebut tidak sah dalam hukum agama. Kecuali yang beragama nonmuslim mau menjadi muallaf.
Memang, ada beberapa keluarga yang tak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Mereka setuju saja dengan keputusan salah satu keluarganya untuk menikahi siapapun, asal saling mencintai. Tapi bagi orang jawa, mereka lebih menyetujui anaknya untuk menikah dengan orang yang bersuku sama. Bahkan kebanyakan menikah dengan tetangga sendiri. Alasan mereka karena agar keluarganya tetap dalam satu adat dan satu keyakinan.
“Hujan Bulan Juni”, sebuah ungakapan metaforis dari Sapardi saat menggambarkan peristiwa atau sebuah kisah yang tidak biasanya diyakini. Prisip keterbacaan di dalam novel, diambil dari sebuah puisi yang akhirnya menjelma menjadi sebuah novel tersebut menjadikan semakin epic dan sarat akan bahasa kesusastraan. [Azah Zamrud]
KOMENTAR