![]() |
Ilustrasi |
Rofi mengatakan ketakutannya dalam menghadapi TOEFL, lantaran ia lulusan pondok pesantren salaf. Rofi turut menyayangkan pemberian mata kuliah bahasa Inggris yang tidak maksimal, baik cara penyampaian maupun materi perkuliahannya yang masih kurang memadahi.
"Saya lulusan pesantren dan enggak terlalu bisa bahasa Inggris, sementara materi kuliah yang diberikan dosen tidak mendalam, hanya sekadar pengenalan," kata Rofi saat ditemui IDEAPERS.com, Kamis (22/12/16).
Hal yang sama turut dirasakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) jurusan Hukum Perdata Islam Amalia Zakia. Ia takut mengikuti TOEFL karena minimnya penguasaan kosakata bahasa Inggris, “Takut, soalnya saya alumni pondok dari Pati, saya lebih paham bahasa Arab. Penguasaan vocab pun cuma sedikit,” ujar mahasiswa semester satu itu.
Lebih lanjut mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (FUHum) jurusan Tafsir dan Hadis, Elli Afriyanti, mengatakan jika penyampaian mata kuliah bahasa yang disampaikan secara langsung pada angkatan 2012 dirasa tidak cocok diterapkan.
Elli menceritakan, waktu itu mata kuliah bahasa Arab dan bahasa Inggris mulai tingkat pertama hingga ketiga dijadikan satu paket, masing-masing dalam satu semester. Hal ini membuat Elli merasa bingung, ketika materi bahasa tingkat satu belum selesai, keesokan harinya ia sudah mendapat materi bahasa tingkat dua dan tiga yang lebih sulit.
"Dulu pas angkatan saya, penyampaian materi kuliah bahasa membuat bingung. Soalnya mata kuliah disampaikan secara langsung, pagi bahasa tingkat satu, besoknya sudah mata kuliah bahasa tingkat tiga," ujar Elli.
Elli turut menekankan, bahwa dosen seharusnya memberikan cara-cara mudah untuk mengerjakan TOEFL agar mahasiswa bisa lulus pada pendaftaran pertama. (Rep. Isma/Red. Rozikan)
KOMENTAR