Ilustrasi |
Pihak birokrasi kampus mengutarakan di berbagai media mahasiswa bahwa jalur masuk perguruan tinggi turut menentukan penggolongan UKT. Golongan satu dan dua (400 ribu hingga satu juta rupiah lebih) sudah overload karena peluang hanya untuk mereka yang mendaftar di jalur masuk pertama, seperti jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sehingga hanya tersisa UKT golongan tiga hingga lima, tidak ada opsi lainnya, yakni sekitar dua juta rupiah hingga empat juta rupiah.
Penggolongan UKT seharusnya bukan berdasarkan jalur masuk, namun berdasarkan pada kemampuan perekonomian mahasiswa. Sikap dan kebijakan kampus yang demikian, yang menjadikan penggolongan UKT menjadi salah sasaran. Seharusnya ada kroscek dan tindak lanjut pada data yang telah disetorkan mahasiswa. Sehingga tercipta kesesuaian dan balance. Juga ada kesempatan bagi yang lebih membutuhkan di jalur masuk lain seperti jalur mandiri.
Di dalam prosedur dan praktik penentuan UKT, kebijakan ditetapkan menggunakan blangko yang terdiri dari pendapatan orang tua, keadaan lain-lain rumah, rekening listrik. Padahal dapat pula terjadi kecurangan atau penipuan. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada kesalahpahaman calon mahasiswa saat mengisi blangko tersebut.
Misalnya saja, biaya hidup keluarga serta beban yang menjadi tanggungan ayah dan ibu. Karena tidak ada keterangan jelas mengenai hal itu, serta kurang lengkapnya berkas saat validasi, membuat seluruh mahasiswa yang diterima melalui jalur Ujian Mandiri dikenakan UKT maksimal.
Hal tersebut membuat mahasiswa merasakan ketidakadilan. Akibatnya muncul protes dan permohonan banding. Selanjutnya kampus memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengajukan banding yakni dimulai tanggal 07 hingga 11 November. Kemudian akan ada verifikasi data hingga 25 November, dan hasilnya akan diumumkan tanggal 13 Desember mendatang.
Mahasiswa diminta untuk mendaftar online dengan mengakses website kampus yang telah ditentukan. Mengisi form yang telah disediakan dan mengunggah file lalu difinalisasi. Setelah itu berkas disatukan dalam map dan diserahkan pada ruang Tata Usaha (TU) untuk mendapat tanda tangan bagian Akademik dan Kemahasiswaan UIN Walisongo.
Dalam pasal dua keputusan Rektor tentang pedoman penyesuaian UKT menyatakan beberapa poin. Pertama, penyesuaian UKT dapat diberikan kepada mahasiswa yang mengalami perubahan kemampuan keuangan. Kedua, dalam penyesuaian UKT akan dijumpai tiga kemungkinan, UKT akan naik, tidak berubah, atau bahkan mengalami kenaikan.
Satu poin penting yang perlu digarisbawahi dari pengajuan banding ini. Meskipun mahasiswa telah mengajukan banding, namun tidak ada kesempatan bagi mahasiswa peserta banding untuk memperoleh UKT golongan satu dan dua. Hal ini keluar dari keputusan dalam pasal tersebut. Semestinya banding UKT adalah juga kroscek semua mahasiswa baik dari golongan satu hingga lima.
Dalam pelaksanaan banding, masing-masing mahasiswa memiliki alasan yang berbeda, ada yang takut UKT-nya naik jika ikut banding UKT dan ada pula yang beranggapan banding UKT terkesan "ribet dan dipersulit". Ditambah dengan kuota yang bisa turun dibatasi. sehingga banyak pertimbangan yang menyebabkan banding tidak dapat terealisasi dalam hal mewujudkan keadilan di sistem UKT UIN Walisongo.
Sangat disayangkan, saat melihat kenyataan bahwa sebenarnya UKT yang semestinya bisa turun dan mereka membutuhkan hal tersebut untuk meringankan beban orang tuanya justru memilih diam, tidak mengambil kesempatan tersebut. Inilah yang terjadi, seolah akan ada masalah lain yang akan timbul.
Kampus UIN Walisongo yang katanya berbasis riset, seharusnya juga harus menggunakan data yang benar-benar valid untuk menentukan penggolongan UKT mahasiswa. Kampus semestinya tidak hanya mengandalkan data yang diterima namun juga melakukan kroscek secara langsung kepada keseluruhan mahasiswa. Sehingga UKT yang ditetapkan tidak salah sasaran dan memenuhi kuota yang seimbang.
Di momentum banding UKT, mahasiswa semestinya bersikap kritis dalam mengawal momen ini agar pihak kampus dapat lebih transparan atau terbuka terhadap penentuan golongan UKT. Jika pengumuman banding UKT masih tetap tidak ada perubahan, itu artinya telah terjadi ketidakadilan.
Hal tersebut bisa menjelaskan bagaimana wajah birokrasi kampus UIN Walisongo yang berbasis madani namun seakan jauh dari prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kemungkinan-kemungkinan lainnya adalah mahasiswa akan memilih keluar dari UIN Walisongo dan berpindah ke universitas lain yang memilki sistem administrasi profesional. Kawal banding UKT dengan kritis dan transparan. (Hajar Ummu Fatih, Kru Magang LPM IDEA 2016)
KOMENTAR