Ilustrasi: Ibrahim yang hendak menyembelih puteranya |
...Ini tentang ekspresi hidup...
Bermula dari anak-anak Adam. Ada pengorbanan dan ada pembunuhan. Cerita hitam putih. Ada pihak yang baik dan ada pihak yang buruk. Meski hidup tak selalu hitam-putih, kita toh merasa harus jadi baik, atau sekadar berpihak pada golongan putih, pihak yang baik (karena pilihan baik dan buruk menuntun kita pada pilihan, yang mestinya baik). Hitam-putih kehidupan, bahkan yang abu-abu senantiasa memberi kita pelajaran amat berharga.
Ini tentang Habil dan Qabil. Mereka mempersembahkan kurban (dengan huruf K-U) kepada Allah. Persembahan Habil diterima, sementara Qabil ditolak. Melalui al-Quran kita tahu, pengorbanan Habil adalah ketulusan, keikhlasan, dan kecintaan. Qabil sebaliknya, penuh ambisi, culas, iri, dan pamrih ragawi. Akhir kisah, keirian Qabil membunuh Habil. Korban (dengan huruf K-O) pembunuhan pertama dalam sejarah.
Maka kita pun tahu pengorbanan Habil adalah ketulusan tanpa pamrih, penyerahan dengan keikhlasan, dan kecintaan yang total. Di dalamnya tersirat jiwa, ruh, keindahan, semangat, yang tak terpegang oleh tangan materi. Dia yang Maha Mulia, Maha Lembut, Maha Cinta hanya menerima esensi yang suci, kasih, dan tulus.
Pengorbanan hanya untuk hasrat yang azali bagi jiwa kepada Sang Penguasanya, sesuatu yang disadari menggenggam penuh dirinya. Jalan untuk meniadakan segala diri, segala aku, segala ego menjadi kosong dan murni. Kosong hingga hanya Dia. Murni, hingga diri serupa dengan Dia yang suci.
Sepertinya matematis, dengan rumus taat maka patuh, cinta maka rela. Namun semudah itukah hasrat berkurban?
Kisah selanjutnya adalah Ibrahim A.S. dengan anaknya. Apakah yang membuat Ibrahim A.S. berencana menyembelih anaknya, sebagai buah ketaatan pada perintah Allah lewat mimpi. Apa pula yang menjadikan sang anak patuh dan rela menjadi kurban persembahan sang ayah? Terbangkah rasa kasih sayang ayah pada anak, hingga ia berani meletakkan sebilah pisau di leher anak mungilnya yang sayang, yang telah dinanti bertahun-tahun setelah usia perkawinannya? Keberanian macam mana yang mampu membuat sang anak menatap pisau berkilat yang siap menyayat lehernya, sementara masa kanak-kanak adalah masa penuh keriangan?
Sejarah hanya mengisahkan kepatuhan Ibrahim A.S. dan menutup kisah ini dengan happy ending. Kepatuhan dan kepasrahan Ibrahim A.S membuat Allah menggantikan sang anak dengan seekor kambing. (Aku tiba-tiba teringat dengan perselisihan yang terkadang muncul antara umat Islam dan Kristen, tentang siapa yang disembelih oleh Ibrahim A.S. Ismail A.S. ataukah Ishaq A.S. Padahal tidak keduanya, melainkan seekor domba).
Ini juga tentang pengorbanan. Orang yang dipanggil al-Hallaj membiarkan tubuhnya dipotong-potong. Bermula dari kedua tangannya, kemudian kedua kakinya, lalu lehernya. Lantas jasadnya dibakar, dan abunya ditaburkan ke sungai Tigris. Menurut cerita, ia telah sesat dari agama, sehingga ia harus diadili sedemikian rupa atas nama agama. Sementara yang diyakini juga adalah agama yang sama, hanya saja interpretasinya yang berbeda. Bagi ia, pengikutnya, dan pengagumnya, tindakan itu merupakan sebuah pengorbanan yang besar untuk menjelaskan Kecintaan-Kesatuan, antara diri dengan Diri. Itulah tasawuf, katanya. Ia adalah kurban dari jalannya sendiri, meski bagi yang lain, mungkin ia korban politik.
Masih ada kisah lagi. Seorang perempuan bernama Cut Nyak Dien, perempuan Aceh yang hidup pada tahun 1900-an. Putri bangsawan yang meningggalakan istananya menuju gubug gerilya, menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan pakaian lusuh penuh darah dan peluh. Ia berkurban karena cintanya kepada kemerdekaan, pada rakyatnya yang menderita karena cengkraman penjajah dengan berjuang. Tahun 1904 tercatat Aceh menjadi daerah terakhir di Indonesia yang sepenuhnya dikuasai oleh para penjajah. Meskipun akhir ceritanya memang agak muram, Cut Nyak Dien mati diterjang peluru. Tahun 1945 Aceh bersama dengan daerah lain di Indonesia menjadi negara merdeka. Sejak saat itu hingga tahun 2003 ini warna kemerdekaan Aceh masih kelabu.
Ada lagi. Ini tentang anak muda yang berjalan di kerumunan pasar Yarussalem tahun 1980-an, di balik jaket yang ia kenakan terikat sebuah bom dengan tubuhnya sendiri. Dan.... Bummmm!!! Meledak! Juga pembajak kapal pesawat terbang yang menabrakkan pesawat yang ia bajak ke sebuah gedung tinggi bertingkat di Amerika Serikat akhir tahun 2001, lantas di Bali akhir tahun 2002 lalu seseorang meledakkan dirinya di dalam sebuah kafe. Peristiwa tersebut menewaskan puluhan bahkan ratusan orang. Ternasuk dirinya sendiri. Sesuatu apakah itu yang mampu menggerakkan keberanian? Ataukah itu hanyalah sebuah kenekatan? Bukan risiko yang diterima lewat kesadaran penuh untuk mewujudkan keyakinan, bukan kenekatan. Itu hanya upaya untuk memperjuangkan apa yang diyakini sebagai kebenaran.
Lantas kini di sekitar kita. Simbok penjual gethuk di pasar Jrakah. Sejak pagi buta ia telah menyingkirkan selimut. Menyalakan api dapur, menanak ketela, pisang, dan sebagainya. Diramunya menjadi klepon, cenil, gethuk, utri, lopis, dan jajanan pasar lainnya. Ketika belum banyak orang yang meggerakkan badan meggeliatkan tubuh, ia sudah menuju ke pasar dengan menggendong semua jualan di pundaknya, di tangannya pun masih menjinjing semua perlengkapan yang lain. Lantas ia duduk di pasar melayani pembeli sampai siang. Apa yang membuatnya betah di sana?
Juga tentang perempuan-perempuan yang berangkat ke negeri tetangga, meninggalkan ibu dan bapaknya, bahkan suami dan anak tercinta. Pengharapan masa denpan untuk kehidupan mereka bersama (tidak hanya untuk dirinya). Juga tentang pak tua yang memakai baju warna kuning kusam, memegang sapu di tengah lapangan, dan di taman-taman kota saat matahari terik.
Juga tentang... Ah, terlalu banyak contoh dan kisah. Apakah yang telah kita peroleh dari semua kisah di atas. Semua tentang pengorbanan (setidaknya di mataku), pejuangan untuk mengungkapkan keyakinan dirinya, Keyakinan yang benar-benar ia sadari yang Mah Benar. Keyakinan yang entah. Setiap orang berbeda. Namun belajar dari anak-anak Adam A.S. Ibrahim A.S. dan orang-orang yang di dalam sejarah atau tidak tercatat dalam sejarah, kita anggap sebagai orang besar, selalu mempunyai nilai ketulusan, kepasrahan, kecintaan, dan keyakianan pada sang Penguasa absolut diri ini menjadi daya perjuangan yang dahsyat. Kekuatan yang menggerakkan tangan dan kaki bahkan pikiran untuk berjuang, bekerja, atau sekadar bersikap diam. Kesadaran pengorbanan yang hebat. Dengan demikian maka hidup kita adalah berkurban. Tanpa hal-hl itu kita menjadi korban. Hidup senantiasa menjalani satu pilihan dari keudanya.
Meskipun matematis, pengorbanan tidaklah mudah. Ia berat sebagaimana diri ini menapaki kehidupan. Meski berat, toh kehidupan manusia tetap bergulir. Semacam itulah, meski sakit, berat, derita, tetapi cinta dan kepasrahan menyebabkan pengorbanan senantiasa terlihat indah. Sesuatu yang indah bukanlah apa yang kita serahkan, melainkan kepasrahan menyerahkan diri sedekat-dekatnya pada Sesuatu itu di balik keyakinan kita.
Jika tentang kita, dalam rentang perjalanan hidup, Kurban atau korbankah kita? Semoga bukan Korban.
Dzulhijjah 1423 H, Joko Tri Haryanto
Pernah dimuat di Majalah IDEA edisi ke-18, Maret 2003
KOMENTAR