Semarang butuh area hijau dan udara sejuk |
Kondisi telah berubah, saat pohon-pohon di BSB ditebangi akhir-akhir ini untuk pendirian perumahan dan ruko yang berjejer. Entah demikian ini atas dasar sebuah kemajuan atau pemerataan pembangunan, yang saya tahu kota Semarang semakin hari kian panas. Temperatur udara rata-rata 38 derajat celcius, bahkan lebih di wilayah kota, panas yang tidak terelakkan saat kita mengitari Semarang di siang hari.
Wacananya pula di daerah BSB akan didirikan wahana fantasi seperti Transtudio dan akan menjadi pusat kota, sebab di bawah sudah terlalu sesak. Jika memang demikian, akan banyak pula pembangunan yang mengikutinya seperti hotel, mal, dan lainnya. Tidakkah melihat tentang dampak yang akan terjadi di daerah sekitar, apalagi daerah Mangkang yang berada di bawahnya, yang sekarang saat hujan turun, sering kali kebanjiran.
Semarang dianggap maju dengan semakin bertambahnya bangunan megah dan modern. Namun perlulah kiranya memikirkan kelestarian lingkungan sebagai upaya menanggulangi Global warming dan banjir yang terus terjadi setiap tahun. Semarang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah tampaknya tengah terlena dengan ancaman ekologi yang bisa datang kapan saja.
Selain di BSB, tempat rimbun lainnya yakni wilayah Gombel. Di mana dulu saat orang-orang merasa penat di tengah kota, langsung naik ke bukit Gombel untuk sejenak menikmati pemandangan kota di bawah pohon-pohon rindang dengan kesejukannya. Kini, kawasan tersebut semakin ramai dengan hotel dan restoran. Udara pun tidak sesejuk dulu dan penuh polusi knalpot kendaraan yang semakin ramai. Kini, musim penghujan sepertinya akan segera berakhir, berganti kemarau yang gersang, penat dan cepat membuat lelah. Sudahkah kita menyiapkan pergantian musim ini?
Kampanye Penghijauan Masih Sebatas Platfom
Di kampus-kampus misalnya, ramai mencanangkan program green campus, yang pada dasarnya sebuah kampanye agar daerah tersebut tetap asri dan sejuk. Namun, kampanye ini sepertinya hanya sebuat platform belaka, kenyataannya kampus di Semarang masih cukup panas menyengat. Tentu di lembaga-lembaga lain pun banyak yang menerapkan kampanye tersebut, namun hanya sebuah kajian dan rencana.
Kampus yang isinya orang-orang terdidik pun luput dari pengetahuan akan pentingnya merawat lingkungan agar tetap sejuk. Kampus dibangun megah, namun miskin pepohonan rindang. Ini sama halnya berteori tanpa bertindak. Sebuah hal yang memilukan. Belum lagi orang-orang terdidik tersebut memiliki beban di masyarakat secara umum. Lalu, bagaimana kinerja pemerintah, khususnya pemerintah kota Semarang menanggapi daerahnya yang semakin panas dan sering kali banjir saat hujan tiba?
Sudah tidak zamannya lagi untuk saling menyalahkan, tentunya. Kesadaran dari masing-masing individu di daerah tersebut, yang akan membawa kondisi sejuk atau panas, banjir atau tidak. Tentu kita tidak menginginkan kondisi kota seperti Jakarta yang marak terjadi banjir. Mungkin bisa ditanggulangi, namun kemampuan penanggulangan bencana berbeda dari siapa yang menanggulangi dan bagaimana kondisi daerah tersebut.
Namun, tentu yang harus kita ketahui, penebangan pepohonan seperti di BSB dan Gombel ini perlu untuk dipikirkan mendalam, sebelum terlanjur gundul, panas, sulit mendapat air bersih dan ancaman banjir. Tampaknya egoisme pembangunan perlu dikontrol dengan tetap sadar akan pentingnya lingkungan asri dan alami di kehidupan sehari-hari. Sebab, taman-taman kecil tidaklah mampu meredam pemanasan global yang masih parah.
Pencegahan Sejak Dini
Di tengah modernisme yang semakin tidak terkontrol, di saat semua orang tengah disibukkan dengan pekerjaan yang semakin sulit, saat banyak orang melupakan pohon yang begitu penting dalam kehidupan. Pembelajaran kepada generasi muda mengenai pentingnya menjaga lingkungan hijau, perlu diterapkan sejak dini. Sebab merekalah yang akan singgah di bumi ini kemudian hari.
Praktik-praktik penanaman pohon dan perawatannya harus pula diajarkan sejak dini di lingkungan sekolah dan masyarakat. Sebab pendidikan tidak pernah mengajarkan eksploitasi alam, dan orang-orang yang tinggal kini segara terenyuh hatinya dengan kondisi yang semakin gersang dengan mengurangi egoisme kepentingan ekonominya, memberi contoh kepada yang muda untuk menjaga dan merawat lingkungan agar tetap hijau.
Penulis bukan seorang pakar lingkungan, penulis hanya seorang yang mencintai lingkungan yang sejuk. Semoga pula warga Semarang tidak perlu lagi pergi jauh-jauh ke Ungaran untuk menghirup udara segar yang padahal sekarang, dataran tinggi Ungaran pun semakin panas dan tercemar udaranya. Semoga kita tidak menyesal di kemudian hari. [k]
KOMENTAR