Ilustrasi: Viruz (dosen dalam film 3 Idiots) yang kaku dan tidak memaklumi mahasiswanya. |
Biasanya setiap dosen di awal tatap muka akan memberi pengantar tentang mata kuliah yang ia ampu. Bagian terakhir dari tatap muka tersebut biasanya diisi dengan pembagian tugas makalah yang telah tersilabuskan disertai beberapa rentetan buku yang direkomendasikan dosen untuk dijadikan referensi. Rentetan daftar buku tersebut seharusnya memang mempermudah mahasiswa menyelesaikan tugasnya, tetapi tidak jarang buku-buku tersebut tidak bisa kita temukan di perpustakaan. Pertanyaan pertama yang mungkin muncul adalah, bukankah dosen seharusnya membuat silabus dengan juga menyesuaikan ketersediaan buku referensi yang ada di perpustakaan? Atau jangan-jangan memang dosen-dosennya tidak pernah masuk perpustakaan sehinga tidak tahu-menahu soal buku apa saja yang ada di sana?
Bagi penulis, tentu baiknya rentetan daftar buku yang bisa dijadikan sebagai referensi tersebut juga harus tersedia di perpustakaan fakultas. Secara teknis hal itu tentu akan membantu dalam mempermudah proses pengerjaan makalah. Sementara dalam keilmuan, jika hal itu terwujud (ketersediaan buku referensi di perpustakaan) berarti mencerminkan betapa berkualitasnya perpustakaan kita. Pun kita juga tahu betapa pentingnya perpustakaan yang baik (bukunya lengkap) untuk kemajuan suatu masyarakat—bahkan peradaban—seperti Baitul Hikmah rintisan Harun al-Rasyd.
Kelengkapan buku perpustakaan bisa tercipta melalui komunikasi dua arah, antara pustakawan dengan civitas akademik. Misal, dalam awal tahun penganggaran pembelian buku perpustakaan, ada proses di mana seluruh civitas akademik bisa memberi daftar rekomendasi buku. Hal ini penting terlebih saat ada perubahan beberapa mata kuliah. Kepala jurusan juga harus dalam posisi mengetahui mata kuliah apa saja yang belum ter-cover oleh buku-buku yang ada di perpustakaan. Lebih khusus setiap dosen mata kuliah tertentu. Selama ini, hemat penulis, proses komunikasi seperti itu hanya berlangsung antara pustakawan dan beberapa orang berdasarkan kedekatan personal. Sekarang sudah saatnya
komunikasi itu terlembagakan, tersistematis.
Jika model komunikasi seperti itu sudah tercipta, maka penulis rasa mustahil jika masih ada mahasiswa yang kesusahan mencari referensi buku di perpustakaan untuk menyelesaikan makalahnya. Jika sudah, selanjutnya forum seperti itu akan menghasilkan kelengkapan buku yang semakin memperkaya daftar referensi makalah mahasiswa. Pertanyaannya, sudahkah civitas akademik, terutama kepala jurusan dan dosen mengecek daftar buku perpustakaan dan mencocokannya dengan setiap mata kuliah yang ada? Jika belum, baiknya Anda menggugat dosen yang memberi tugas makalah yang buku referensinya tidak ditemukan di perpustakaan kesayangan kita. Atau kita mau menunggu Senat Mahasiswa mengawal pembentukan forum komunikasi “rekomendasi buku” tersebut terlebih dahulu? (Ahmad Muqsith)
KOMENTAR