Panorama di Pulau Lahe |
Foto ini diambil di salah satu obyek wisata di Kecamatan Marisa, Kabupaten
Pahuwato, Provinsi Gorontalo. Pulau Lahe namanya. Waktu tempuh ke tempat tersebut sekitar 30 menit, dari Desa
Pohuwato Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pante.
Menurut para orang tua di Pante, sudah sejak lama
Pulau Lahe menjadi
habitat satwa langka yang dilindungi. Pulau ini menjadi tempat burung maleo bertelur, bahkan penyu pun sering
terlihat mampir ke pulau
ini. Di kala hujan badai melanda, Pulau Lahe menjadi tempat pesinggahan
bagi para nelayan.
Terakhir kali aku berkunjung ke Pulau
Lahe empat tahun lalu, aku disambut oleh hamparan pasir putih nan bersih.
Gemuruh ombak memecah kesunyian, penuh ketenangan. Membuat setiap orang yang
datang ke sini ingin datang kembali.
Seminggu sudah aku melepas kangen dengan kampung halaman yang
selalu menjadi tempat kembali para mahasiswa rantau. Pagi itu Jumat 8 Juli 2016, dua
orang kawan dari Manado datang menyambangiku. Aku pusing mereka harus kuajak ke mana, Pulau Lahe pun menjadi pilihannya.
Setelah melalui tawar-menawar yang
sangat panjang, akhirnya kami pun mendapatkan perahu menuju Pulau Lahe.
Sepanjang perjalanan aku membayangkan jika Pulau Lahe pasti masih indah sejak pertama
kali aku datang empat tahun lalu.
Setelah kurang lebih 33 menit
terombang-ambing oleh ombak, perahu pun mulai menepi ke bibir pantai Pulau Lahe. Kondisi pantai
Pulau Lahe tak seperti apa yang kubayangkan. Hamparan pasir putih menyambut
kami dengan senyuman sesak. Mengapa tidak! Sampah pengunjung yang berserakan sangat
mengganggu dan menutupi kecantikan
pantai Pulau Lahe.
Parahnya lagi, semakin kita masuk
ke sisi dalam pulau, semakin banyak pula sampah yang menanti. Miris memang. Pulau
yang dahulu begitu cantik itu, kini menjelma menjadi pulau yang sangat kotor
akibat ulah manusia yang tidak tahu diri.
Selama berjalan mengelilingi
pulau, aku berbincang mengenai masa depan Pulau Lahe dengan kedua kawanku, Memo
dan Azan, sapaan akrab mereka. Aku ceritakan kepada mereka,
ingatan yang masih hangat dalam benakku, tentang dua orang jurnalis yang
dikenal lewat Ekspedisi Biru mereka, Dandhy Laksono dan Ucok Suparta Arz. Mereka berdua membuat
film dokumenter tentang pengelolaan ekonomi berbasis maritim yang dianggap
lebih menguntungkan bagi masyarakat.
Sejumlah film telah dihasilkan,
salah satunya adalah film Kala Benoa yang bercerita tentang reklamasi Pulau
Benoa yang kini mulai meresahkan warga lokalnya. Jangankan melaut untuk mencari ikan, melewati kawasan
pulau itu saja sudah ada larangan. Apalagi untuk mengambil gambar, seakan para investor adalah pemilik
tunggal pulau itu.
Lantas apa hubungan antara Pulau
Lahe dengan Ekspedisi Biru? Aku tak ingin pulau ini bernasib sama dengan Pulau
Benoa. Investor asing tak boleh menanamkan modal seperti yang terjadi di
beberapa daerah, ekosistem akan rusak, perekonomian warga lokal pun akan
terganggu.
“Bukankah Soekarno pernah mengatakan, ketika alam dikelola oleh rakyat
Indonesia sendiri maka
masyarakatnya akan sejahtera,” tegasku dengan berapi-api.
Mungkin aku, kau, kita termasuk kaum laggards, kaum kolot. Sehingga tak selalu peka pada kehidupan yang ada, baik
sebagai kehidupan sosial maupun interaksi yang ada di dalamnya. Termasuk ekosistem
yang ada di Pulau Lahe.
Namun aku tak ingin pulau ini dilirik oleh
investor asing, ia bisa menjadi diktator di tanah kita sendiri. Meskipun Pulau Lahe mulai kotor akibat ulah pengunjung yang tak tahu diri, tapi biarkanlah dia
seperti itu.
Pulau Lahe tetap akan menjadi tempat persinggahan para
nelayan kala hujan badai menerpa. Menjadi tempat berkembang biak dan bersinggah
bagi penyu dan maleo
hewan endemik asal Sulawesi itu.
Zulkifli Mangkau
Anggota Lembaga Pers Mahasiswa Merah Maron
dan Ketua HMJ Ilmu Komunikasi
Universitas Negeri Gorontalo
KOMENTAR