“Obrolan kita di meja makan, tentang mereka yang kelaparan”. sepenggal lirik Ethiopia, lagu dari Iwan Fals tersebut seperti membawa kita berkaca pada negeri kita sendiri, Indonesia. Sebab, dewasa ini cobaan yang menimpa bangsa, yang konon katanya menjadi bangsa yang sudah merdeka, bukan semakin berkurang, namun semakin melonjak jumlahnya. Indonesia sedang mengalami krisis nurani.
Berbagai problem yang sarat akan berbagai latar belakang, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, kemajuan zaman, tak luput pula dari latar belakang “agama” yang paling arif dan bijak. Permasalahan seperti korupsi, kapitalisasi, tindakan amoral, eksploitasi, kekerasan agama, dan lainnya, hingga kini selalu menjadi krisis dan dilema. Seakan kita dibuat jenuh dan gundah dalam menanti apa yang dicita-citakan di masa kemerdekaan, yakni kemerdekaan seutuhnya oleh setiap bangsa, tidak kunjung terjadi.
Dahulu, Bung Karno pernah berpesan bahwa kita harus terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab penjajah pasca kemerdekaan berasal dari bangsa kita sendiri. Inilah yang harusnya selalu kita ingat dan renungkan. Mengapa demikian? Hal ini menyangkut wajah peradaban sebuah negara dan bangsa dalam menjaga dan memperjuangkan kemerdekaannya, serta kemauan untuk memberantas penjajahan di tanah yang sudah merdeka. Maukah kita kembali ke masa lalu atau menginginkan negeri seperti Ethiopia?.
Merefleksi Kesaktian Sila Pertama Pancasila
Pancasila pernah menjadi senjata terampuh dunia. Melalui kesaktian di setiap ayatnya, Indonesia menjadi negara non-blok yang mampu meredam konflik ideologi antara Timur dan Barat (Liberalisme dan Komunisme). Sebuah kebanggaan dan syukur karena kita telah ikut andil dalam menjaga peradaban dunia.
Ayat pertama Pancasila berbicara tentang ketuhanan. Hal ini jelas bahwa terhadap apa saja yang kita lakukan tidak akan terlepas dari hal paling agung dan mulia, yang jauh dari hal yang buruk bagi kita dan terhadap apa yang akan kita lakukan sebagai manusia. Sebab setiap orang yang bertuhan dan beragama dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Jika masih melakukan tindakan buruk dan dilarang, berarti ia juga telah berati menentang Tuhannya yang mulia.
Dari sanalah bangsa Indonesia tidak memiliki pikiran atau tindakan menjajah bangsanya sendiri baik dalam berpikir maupun bertindak. Kemudian empat ayat selanjutnya sebagai aplikasi dari nurani diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai asas mulia yang kita miliki, kini tengah terbaring sakit yang tak kunjung sembuh. Namun, bukan berarti ia akan hilang dan lenyap begitu saja, seandainya kita segera sadar, introspeksi diri, serta mau mencari jalan keluar untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Pancasila adalah wajah nurani kita, wajah ibu kita. Jika kita tidak peduli dan malah mengkhianati, berarti sama saja kita telah menikam nurani, menikam ibu kita sendiri.
Menuju Bangsa yang Semakin Dewasa
Umur Indonesia tidak lagi muda, 71 tahun kiranya. Tentu banyak pelajaran selama proses pendewasaan ini. Baiknya kita renungkan agar menjadi jalan keluar bagi setiap cobaan yang akan hadir di kemudian hari. Namun, jika melihat realitas sekarang, negeri dijuluki zamrud katulistiwa ini lebih memilih melupakan arti “sadar”, “berbudi”, dan “bertuhan”. Korupsi semakin merajalela, kasus kriminal melonjak, nilai luhur bangsa terus terkikis, ekploitasi alam tidak ada habisnya, terorisme, dan problem lain yang terus mengakar.
Sadar, jangan pernah melupakan sejarah, sebuah semboyan yang sering terdengar di telinga. Kesadaran akan bagaimana perjuangan orang terdahulu dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Kesadaran akan menjaga, merawat dan mengembangkan apa yang telah dimerdekakan yakni dengan cara sebaik dan searif mungkin. Dengan niat kemanusiaan dan keadilan sosial yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju dan ikut andil lagi dalam kancah Internasional.
Berbudi, mengawal dan merenungi nilai-nilai luhur bangsa yang telah ada sejak zaman dahulu seperti kerukunan dan lainnya, agar kita dalam berbangsa menjadi bangsa yang beradab, yang tahu baik dan buruk. Kemudian Bertuhan, pengetahuan bahwa yang paling berkuasa atas segala yang dibumi adalah milik tuhan dan atas kehendak tuhan pun harus terus direnungkan, agar kita selamat, bukan berhianat, yang malah akan menjadikan kita sebagai hamba tuhan yang dimurka.
Mendoakan Negeri
Usaha apapun perlu dan layak kita lakukan dengan niat yang memajukan. Tentu sebagai bangsa yang bertuhan dan beragama, kita selalu mendoakan untuk negeri yang kita cintai ini.
Ya Tuhan kami, lindungi kami dan negeri ini. Berilah kami kemudahan dan selalu jauhkan kami dari kemungkaran. Berilah selalu kecerahan dari masa yang cukup kelam ini. Ya Tuhan kami, kabulkanlah doa kami, karena hanya padamulah kami memohon. [k]
Berbagai problem yang sarat akan berbagai latar belakang, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, kemajuan zaman, tak luput pula dari latar belakang “agama” yang paling arif dan bijak. Permasalahan seperti korupsi, kapitalisasi, tindakan amoral, eksploitasi, kekerasan agama, dan lainnya, hingga kini selalu menjadi krisis dan dilema. Seakan kita dibuat jenuh dan gundah dalam menanti apa yang dicita-citakan di masa kemerdekaan, yakni kemerdekaan seutuhnya oleh setiap bangsa, tidak kunjung terjadi.
Dahulu, Bung Karno pernah berpesan bahwa kita harus terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab penjajah pasca kemerdekaan berasal dari bangsa kita sendiri. Inilah yang harusnya selalu kita ingat dan renungkan. Mengapa demikian? Hal ini menyangkut wajah peradaban sebuah negara dan bangsa dalam menjaga dan memperjuangkan kemerdekaannya, serta kemauan untuk memberantas penjajahan di tanah yang sudah merdeka. Maukah kita kembali ke masa lalu atau menginginkan negeri seperti Ethiopia?.
Merefleksi Kesaktian Sila Pertama Pancasila
Pancasila pernah menjadi senjata terampuh dunia. Melalui kesaktian di setiap ayatnya, Indonesia menjadi negara non-blok yang mampu meredam konflik ideologi antara Timur dan Barat (Liberalisme dan Komunisme). Sebuah kebanggaan dan syukur karena kita telah ikut andil dalam menjaga peradaban dunia.
Ayat pertama Pancasila berbicara tentang ketuhanan. Hal ini jelas bahwa terhadap apa saja yang kita lakukan tidak akan terlepas dari hal paling agung dan mulia, yang jauh dari hal yang buruk bagi kita dan terhadap apa yang akan kita lakukan sebagai manusia. Sebab setiap orang yang bertuhan dan beragama dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Jika masih melakukan tindakan buruk dan dilarang, berarti ia juga telah berati menentang Tuhannya yang mulia.
Dari sanalah bangsa Indonesia tidak memiliki pikiran atau tindakan menjajah bangsanya sendiri baik dalam berpikir maupun bertindak. Kemudian empat ayat selanjutnya sebagai aplikasi dari nurani diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai asas mulia yang kita miliki, kini tengah terbaring sakit yang tak kunjung sembuh. Namun, bukan berarti ia akan hilang dan lenyap begitu saja, seandainya kita segera sadar, introspeksi diri, serta mau mencari jalan keluar untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Pancasila adalah wajah nurani kita, wajah ibu kita. Jika kita tidak peduli dan malah mengkhianati, berarti sama saja kita telah menikam nurani, menikam ibu kita sendiri.
Menuju Bangsa yang Semakin Dewasa
Umur Indonesia tidak lagi muda, 71 tahun kiranya. Tentu banyak pelajaran selama proses pendewasaan ini. Baiknya kita renungkan agar menjadi jalan keluar bagi setiap cobaan yang akan hadir di kemudian hari. Namun, jika melihat realitas sekarang, negeri dijuluki zamrud katulistiwa ini lebih memilih melupakan arti “sadar”, “berbudi”, dan “bertuhan”. Korupsi semakin merajalela, kasus kriminal melonjak, nilai luhur bangsa terus terkikis, ekploitasi alam tidak ada habisnya, terorisme, dan problem lain yang terus mengakar.
Sadar, jangan pernah melupakan sejarah, sebuah semboyan yang sering terdengar di telinga. Kesadaran akan bagaimana perjuangan orang terdahulu dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Kesadaran akan menjaga, merawat dan mengembangkan apa yang telah dimerdekakan yakni dengan cara sebaik dan searif mungkin. Dengan niat kemanusiaan dan keadilan sosial yang akan membawa Indonesia menjadi negara maju dan ikut andil lagi dalam kancah Internasional.
Berbudi, mengawal dan merenungi nilai-nilai luhur bangsa yang telah ada sejak zaman dahulu seperti kerukunan dan lainnya, agar kita dalam berbangsa menjadi bangsa yang beradab, yang tahu baik dan buruk. Kemudian Bertuhan, pengetahuan bahwa yang paling berkuasa atas segala yang dibumi adalah milik tuhan dan atas kehendak tuhan pun harus terus direnungkan, agar kita selamat, bukan berhianat, yang malah akan menjadikan kita sebagai hamba tuhan yang dimurka.
Mendoakan Negeri
Usaha apapun perlu dan layak kita lakukan dengan niat yang memajukan. Tentu sebagai bangsa yang bertuhan dan beragama, kita selalu mendoakan untuk negeri yang kita cintai ini.
Ya Tuhan kami, lindungi kami dan negeri ini. Berilah kami kemudahan dan selalu jauhkan kami dari kemungkaran. Berilah selalu kecerahan dari masa yang cukup kelam ini. Ya Tuhan kami, kabulkanlah doa kami, karena hanya padamulah kami memohon. [k]
KOMENTAR