“Mahasiswa adalah agent social of change”. Ah,
masa iya? Nampaknya pernyataan yang sering dikoarkan oleh para aktivis
mahasiswa tersebut perlu dikaji kembali. Apakah pernyatan tersebut masih
relevan dengan kondisi mahasiswa sekarang.
Isu nasional maupun lokal yang beredar di media
tentang bobroknya negeri ini sudah sangat memprihatinkan. Mahasiswa mencoba
menunjukkan keberpihakan mereka kepada rakyat kecil dengan cara berunjuk rasa.
Tak jarang demonstrasi tersebut berujung tindakan anarkis. Kalaupun tidak
demikian, mahasiswa akan berhenti meneriakkan tuntutannya setelah dijejali
makanan oleh pihak yang mereka tuntut.
Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang harus dilakukan
mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial?
Di dalam kampus, mahasiswa di beri kebebasan untuk
berorganisasi, baik organisasi intra maupun organisasi ekstra. Tujuan utamanya
adalah untuk membentuk mahasiswa yang progresif dan visoner. Organisasi ini
menjadi “Kawah Candradimuka” bagi mahasiswa untuk mengasah dan mengembangkan skill
mereka. Pengalaman yang tak akan pernah didapatkan di dalam ruang perkuliahan.
Ada pula “mahasiswa kupu-kupu”, mereka hanya datang ke
kampus untuk kuliah, setelah itu pulang ke kos. Mereka ogah berorganisasi
karena berbagai alasan. Malas, mengganggu proses kuliah, dan ingin lulus cepat menjadi
beberapa di antaranya.
Apalagi setelah diberlakukannya kebijakan Uang Kuliah
Tunggal (UKT) bagi universitas negeri di seluruh Indonesia. Bahkan di kampus
UIN Walisongo, beban UKT yang harus dibayarkan mahasiswa baru telah merangkak
naik. Bukan tidak mungkin hal ini akan berbanding lurus dengan meningkatnya
jumlah mahasiswa kupu-kupu di UIN Walisongo tahun akademik 2016/2017.
Pasalnya mahasiswa “diminta” untuk lulus cepat. Kalau
tidak, tentu biaya kuliah yang hanya dijatah selama delapan semester akan
membengkak. Nalar kritis yang sejatinya dibentuk dalam organisasi mahasiswa,
perlahan akan luntur. Perguruan tinggi tak ubahnya pendidikan menengah, bahkan
pendidikan dasar. Hanya belajar di ruang kelas, kemudian kembali ke kos.
Akibatnya kampus hanya akan melahirkan sarjana
prematur yang tak tahu harus berbuat apa bagi masyarakat, terutama di daerah
asalnya. Jika sudah demikian, bagaimana bisa mahasiswa menyandang status
sebagai agent social of change? Perubahan apa saja yang akan dan telah mereka
perbuat?
Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi. Mencoba mengingatkan
kembali bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab besar di masyarakat,
dibandingkan dengan generasi muda lain yang tak menyandang status mahasiswa. (Abdi/Lee)
KOMENTAR