Sarah:
Membencimu? Tidak mungkin. Aku tidak ingin hidup di dunia yang sebentar ini untuk membenci siapapun, apalagi membencimu. Jangan berpikir begitu, seberapapun besar kesalahanmu, aku memaafkan. Seberapapun bencinya kamu padaku, aku tidak akan membencimu. Kau tahu kenapa? Karena hatiku menginginkan demikian. Jadi jangan khawatir.
Haidar:
Biar kau mengira aku membencimu, biar kau hanya tahu aku melukaimu, menyingkirkanmu, tak ingin melihatmu. Biar saja aku menjadi jahatmu, sebab hanya itu yang aku bisa. Demikianlah caraku mencintaimu, demikian agar aku bisa melindungimu, demikian agar aku bisa bertahan.
***
“Apapun yang aku katakan, kau tak pernah percaya padaku, kan?” Sarah berucap tanpa menatap lawan bicaranya. Ia biarkan matanya menerobos ke ombak laut Jawa, ia andaikan saja bahwa laut itu adalah mata.
“Mengapa aku harus percaya padamu?” Haidar juga tak menatap Sarah. Sedari tadi ia melayangkan pandang ke langit di atas garis cakrawala. Dari jembatan yang menghubungkan dua gedung kampus, mereka menatap biru langit dan samudra.
“Untuk apa kita menyebut cinta kalau kita tidak bisa saling percaya? Tanpa kepercayaan, cinta hanyalah omong kosong,” Sarah menjawab dengan getir.
“Kita memang omong kosong,” ucap Haidar samar. Ada rasa aneh di hatinya saat mengucapkan kalimat itu, rasanya angin besar dari utara datang menghampiri dan menusuknya tanpa ampun.
“Baiklah. Mari kita akhiri saja. Untuk apa kita bertahan bila aku mempercayaimu secara sepihak,” kini Sarah menatap Haidar, begitu sebaliknya. Mereka saling menatap, dan selama itu, mereka saling menahan nafas, menahan yang sesak.
“Baik, ayo kita akhiri. Aku sangat mengharapkan itu. Mari kita berjauhan dan jangan pernah muncul lagi di hadapan masing-masing. Pertemuan hanya akan menghancurkan”.
***
Di suatu masa saat matahari sedang mengamati bumi yang sedang berotasi sekaligus berevolusi, matahari mulai menggerakkan pena untuk menuliskan surat cintanya:
Aku hanya bisa mencintaimu dengan memberikan seluruh sinarku, memungkinkanmu ber-siang dan me-malam, membantu pepohonan berbuah agar sebagian jiwamu bisa merasakan C6H12O6+6O2, menguapkan air agar kau merasakan rintik hujan, dan semua hal yang bisa didapat dari sinarku. Hanya dengan itu aku merasa berguna untukmu, hanya dengan sinar sebisaku aku berusaha melindungi dan memberimu nafas.
Belum selesai matahari menuliskan surat cintanya, air matanya menetes. Ia buru-buru mengusap air mata itu dan menatap bumi dengan tatapan berkaca-kaca. Ia tahan agar air matanya tidak jatuh.
Ingin rasanya aku berada di sampingmu selalu, memberimu perlindungan yang nyata, memberimu cinta yang lebih sempurna, tak hanya dari jarak yang jutaan tahun cahaya. Tapi… Jika aku mendekatimu sejengkal saja maka semua jiwamu akan mati, manusia, tetumbuhan, hewan-hewan, semuanya akan kekeringan. Melihat betapa panas air mataku yang menjelma sinar terik membakar, pasti kau akan hancur tatkala aku mendekat.
Begitu haru, begitu sakit di dada, matahari membesarkan hatinya dengan mendengarkan suara tawa kebahagiaan manusia, tetumbuhan dan hewan. Baginya, ia tidak boleh egois. Ia harus bertahan dan menahan diri. Ia sedang berusaha memahami arti keikhlasan, mencinta dengan memberi sebanyak-banyaknya tanpa harus menuntut balasan.
Matahari kemudian menengadahkan koronanya dan berdoa kepada Tuhan,
“Ya Tuhan, aku tahu betul bahwa aku tak boleh mendekati bumi meski kami saling mencinta. Aku mungkin bisa menjaganya dengan sinarku, tapi ada satu hal yang tak bisa aku lindungi, yaitu godaan setan yang selalu mencoba menghancurkan pertahanan kami agar secepat-cepatnya kami melanggar batasan-Mu dan binasa. Maka dari itu, aku titipkan bumiku pada-Mu ya Tuhan. Aku hanya makhluk, punya rasa cinta, dan Engkaulah pemilik kami”.
Lalu matahari memulai lagi menulis surat cintanya,
Beginilah caraku mencintaimu kasihku. Aku hanya bisa memberi dan mengamati dari kejauhan. Jagalah sinarku sebaik-baiknya untuk kesejahteraan jiwamu.
Suratpun terkirim melalui doa di antara gemintang.
Sang bumi, ia tak kalah rindu, tak kalah cinta. Bahkan cintanya lebih berat. Ia tak hanya harus memberi namun juga harus menjaga makhluk-makhluk yang tinggal dalam dirinya. Ia pun harus menerima semua perlakuan jiwa-jiwa dalam dirinya, ia rela dirusak, diracuni, dikeruk, diperlakukan tak adil. Tapi tak masalah baginya, ia menerima, ia ikhlas.
Dalam hatinya, ia ingin sekali menatap matahari secara keseluruhan, tanpa berkedip, tanpa sebelah mata. Tapi rupanya ia harus berputar berpaling wajah agar dapat memberikan malam pada kehidupan. Tapi apapun itu, ia selalu merasakan sinar matahari dengan perasaan cinta dan haru.
Kelak, pada akhirnya, Tuhan akan mengabulkan doa keduanya untuk saling bertemu. Pada suatu masa, keduanya bersiap untuk saling melebur. Bumi sangat bahagia saat melihat kekasihnya mulai mendekatinya, matahari pun merasa berdebar-debar setelah sekian lama terhalang oleh jarak dan waktu. Keduanya saling mendekat dan tersenyum.
Matahari dan bumi adalah makhluk, pada akhirnya mereka mendamba bertemu. Lalu kehidupanpun hancur, kiamat kiranya tak hanya menjadi ajaran, tapi kenyataan.
“Aku mencintaimu bumiku.”
“Aku pun sangat mencintaimu matahariku.”
Demikian mereka saling menyambut. Dan cinta itupun berakhir. Maha Suci Tuhan Semesta Alam.
***
Demikianlah kisahku dan kisahmu. Kita bagai matahari dan bumi. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku. Aku mencintaimu dengan mempercayaimu, menumbuhkan pohon-pohon dan melindungi udara untuk segenap jiwa kita. Kau mencintaiku dengan berpura-pura tidak percaya padaku. Kadang kau menyengatku dengan sinarmu, kadang kau meminta bantuan awan untuk membuatmu seolah kau membenciku. Melancarkan datangnya badai dan halilintar, membiarkan langit hatiku gelap, rapuh dan putus asa.
Awalnya aku tidak paham. Namun ternyata semua yang kau lakukan adalah karena cinta.
Kini aku tahu bahwa kau benar, kita memang omong kosong ya? Omong kosong jika kita melihat hanya dengan mata lahiri saja.
* Nikmaturrohmah Muqoddas
KOMENTAR