Di
televisi tengah marak memberitakan tentang eksploitasi anak berupa
mempekerjakan anak-anak demi meraup materi, seperti mengemis, jualan koran, mengamen,
pekerjan kasar lainnya. Hal ini ternyata telah menghancurkan masa kanak-kanak
mereka yang semestinya diwarnai dengan keceriaan dan kebahagaiaan.
Berdasarkan
banyak kasus, praktek eksploitasi anak ternyata dilatarbelakangi oleh
kriminalitas seperti penculikan dan praktek kerja paksa pada anak.
Aksi
eksploitasi anak nyatanya memang terjadi di sekitar kita.
Kemarin saya
melakukan perjalanan dari Ngaliyan ke Simpang Lima Semarang, saya berulang kali
menyaksikan anak-anak mengais rejeki di lampu merah, mirip seperti yang
diberitakan di televisi. Melihat pemandangan tersebut timbul pertanyaan dalam
benak saya, apakah anak-anak ini bernasib sama seperti mereka yang ramai diberitakan
di televisi? Jika memang sama, tentu korban eksploitasi anak di di Indonesia
yang tak terekspos oleh media, sangat tak terhitung jumlahnya.
Data
dari Komisi Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2015 tercatat sebanyak
4,1 juta anak di seluruh Indonesia menjadi korban eksploitasi. Sebanyak 1,7
juta di antaranya termasuk dalam kategori korban eksploitasi yang berbahaya,
seperti pelacuran anak. Sementara anak yang terkatung di jalanan mencapai 34
ribu jiwa.
Data
lain menyebutkan bahwa pekerja anak-memiliki durasi jam kerjanya masing-masing,
tergantung pada usianya. Pekerja anak usia 10 – 12 tahun, bekerja tanpa
menghiraukan durasi waktunya. Sementara mereka yang berusia 13 – 14 memiliki jam
kerja lebih dari 15 jam per minggu. Bahkan pekerja anak berusia 15 – 17 bekerja
selama lebih dari 40 jam per minggu.
Eksploitasi
anak seringkali terjadi karena faktor kemiskinan, keterpaksaan, dan paksaan. Pertama,
kemiskinan disebabkan orang tua malas bekerja hingga menyuruh anaknya untuk mencari
nafkah di jalanan yang keras dan kejam. Kedua, keterpaksaan, karena
adanya kesadaran anak atas kondisi ekonomi keluarganya. Mereka lebih memilih
membantu orang tuanya bekerja daripada megenyam bangku sekolah. Ketiga, paksaan
dari oknum tertentu yang berwujud komplotan pengeksploitasi anak dari hasil penjualan
maupun penculikan.
Eksploitasi
Anak, Salah Siapa?
Sesungguhnya,
peran orang tua di sini sangatlah penting, yang seharusnya sudah merupakan
kewajiban bagi orang tua untuk menafkahi dan mendidik anak dengan baik dan
benar. Anak-anak berhak mendapatkan itu semua dari kedua orang tuanya. Mereka
berhak dinafkahi, bukan menafkahi. Namun kenyataannya sekarang banyak anak yang
tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Orang tua lalai akan kebutuhan dan kewajiban utamanya, lagi-lagi lapangan
pekerjaan yang masih sulit adalah salah satu poin penting dalam masalah ini.
Selain
itu tindakan dari pemerintah maupun aparat kepolisian pun dipertanyakan. Mereka
harus menindak tegas para pelaku eksploitasi anak, agar anak-anak benar-benar
bisa mendapatkan haknya. Pemerintah sebenarnya telah mengesahkan undang-undang
perlindungan anak, UU Nomer 23 tahun 2002. Pasal empat dalam undang-undang itu
berbunyi: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Hal itu tak sesuai dengan
kenyataan yang terjadi sekarang, ada banyak pekerja anak yang kehilangan
haknya.
Melindungi
Generasi Masa Depan
Kenapa
harus anak-anak? Apa yang ada di otak para oknum yang mempekerjakan anak, apa keuntungannya?
Mereka tak punya cukup tenaga untuk bekerja sebagai kuli bangunan, uang yang mereka
hasilkan pun tak seberapa besarnya. Mungkin mereka beralasan karena anak-anak
sangat mudah dipengaruhi, dan lebih mudah diatur dengan ancaman. Maka dari itu
meskipun uang yang dihasilkan sedikit, paling tidak pendapatan bisa mengalir
lancar setiap hari.
Jika
eksploitasi anak terus-menerus dilakukan, maka mempengaruhi masa depan mereka. Adanya
trauma dan gangguan psikologis, akan turut membentuk karakter pekerja anak yang
cenderung kasar. Sudah seharusnya upaya perlindungan anak perlu dilakukan
sedini mungkin, sesuai hak asasi manusia. Para pelaku eksploitasi anak harus
dihukum dengan seadil dan seberat mungkin. Hakim harusnya tidak berpihak pada
oknum yang memiliki uang dan jabatan, tapi telah jelas melakukan kesalahan.
Menyikapi Eksploitasi Anak
Salah
satu solusi untuk memecahkan permasalahan ini adalah ketersediaan lapangan pekerjaan
bagi masyarakat Indonesia sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Kemudian menyediakan
pendidikan yang memadai untuk anak-anak yang kurang mampu. Selain itu,
pemerintah pun seharusnya membina anak-anak jalanan yang telah terlanjur dijadikan
pekerja. Mereka harusnya dibekali dengan berbagai keterampilan agar tidak
menggantungkan hidupnya dijalanan. Bukannya malah merazia dan menangkap mereka
tanpa ada tindak lanjut yang jelas.
Kalau
eksploitasi anak ini tidak segera ditindaklanjuti, bukan tidak mungkin jika
Indonesia akan dikenal sebagai ensiklopedia negara pencipta anak-anak jalanan
dan terlantar. [Fatihatul Ulfa]
KOMENTAR