Tugu simpang lima yang menjadi icon Kabupaten Grobogan |
“Sampeyan asli Purwodadi?” Tanya seseorang ketika aku berteduh dari derasnya hujan, di sebuah masjid di pinggiran kota Semarang.
“Dari mana sampeyan tahu?” Aku balik bertanya.
“Itu plat motornya,” jawabnya sambil menuding ke arah motorku.
Saat itu aku memang mengendarai sepeda motor dengan nomer polisi K 3627 SZ, aku tengah menempuh perjalanan menuju Ngaliyan setelah sehari pulang kampung. Belum sempat aku menimpali pernyataannya, lelaki itu sudah terlebih dulu melanjutkan ucapannya.
“Motor sampeyan juga kotor banget, jalannya masih jelek ya?” Ucapnya dengan senyum menyungging. Aku tak lagi menanggapi ucapannya, aku lebih memilih melanjutkan perjalanan menembus derasnya hujan.
Bukan kali ini saja saya mendengar stigma tentang Purwodadi, Grobogan. Selain dikenal karena kondisi jalannya yang buruk, Grobogan juga dikenal karena banyak daerahnya yang sering dilanda banjir ketika musim hujan tiba. Grobogan pun terkenal pula dengan para penduduknya yang merantau di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga ke luar pulau Jawa. Entah sejak kapan stigma itu melekat pada kabupaten yang sebenarnya menyimpan potensi besar tersebut.
Lalu, apa potensi besar yang dimiliki Kabupaten Grobogan? Sebagai kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Jawa Tengah, setelah Kabupaten Cilacap, Grobogan menyimpan potensi besar dalam bidang pertanian. Lahan pertanian di Grobogan mencapai 60.349 hektar, atau sekitar 6,04% dari kesuluran lahan pertanian di Jawa Tengah. Selain itu pengairan yang stabil dari waduk Kedung Ombo, membuat petani dapat menanam padi sebanyak dua kali dalam setahun. Alhasil, produksi pertanian di Kabupaten Grobogan sangat melimpah.
Grobogan tercatat sebagai penghasil jagung terbesar di Jawa Tengah, sementara hasil produksi kedelai dan kacang hijaunya menempati urutan kedua. Tidak hanya berhenti pada tanaman pangan, hasil tanaman buah di Grobogan pun cukup menjanjikan. Sebut saja melon, semangka, mangga, pisang, serta buah-buahan lain dengan kualitas yang berani bersaing.
Bahkan awal tahun 2016 lalu, Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian RI, sempat datang ke Grobogan untuk melakukan panen raya. Dalam lawatannya ke Desa Kemloko, Kecamatan Godong tersebut, Pak Menteri juga dikabarkan akan memberikan bantuan berupa alat-alat pertanian kepada petani di Kabupaten Grobogan. Dengan demikian diharapkan agar hasil pertanian akan terus meningkat setiap tahunnya.
Menteri pertanian ikut panen raya di Kabupaten Grobogan |
Nasib Petani di Kabupaten Grobogan
Mengingat besarnya potensi pertanian di Kabupaten Grobogan, harusnya pemkab benar-benar memperhatikan nasib para petani. Hal itu dapat diwujudkan dengan pemberian penyuluhan tentang cara bercocok tanam yang baik, mengendalikan harga komoditas pertanian agar stabil, atau mencegah para pengusaha yang ingin mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi pabrik.
Hal-hal tersebut penting dilakukan, mengingat paradigma masyarakat Grobogan perlahan-lahan mulai berubah. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan para petani terhadap pupuk dan obat-obatan kimia yang semakin tak terkendali. Para petani rela menghabiskan dana hingga jutaan rupiah untuk membeli pupuk dan obat kimia.
“Tandurane mben tambah apik,le,” jawab Bapak, yang juga seorang petani, ketika kutanyakan tentang hal itu.
Padahal tanpa mereka sadari, penggunaan bahan-bahan kimia akan merusak dan mengurangi kesuburan tanah yang menjadi tumpuan hidup para petani. Hal ini saya amati dari hasil panen warga di desa saya, yang menurun secara signifikan dari tahun ke tahun. Pemkab Grobogan harusnya segera mengambil tindakan dengan memberikan penyuluhan, agar petani kembali beralih ke pupuk organik. Namun tampaknya tindakan itu masih jarang dilakukan oleh Pemkab Grobogan, kalaupun ada penyuluhan hanya dilakukan melalui website grobogan.go.id. Sementara, tidak semua petani di Grobogan bisa mengakses internet.
Jika hal ini terus-menerus dibiarkan bukan tidak mungkin lahan pertanian di Kabupaten Grobogan akan rusak, dan para petani pun akan kehilangan mata pencahariannya. Atau mungkin ada oknum tertentu yang memang menginginkan adanya kondisi tersebut. Sehingga apabila lahan pertanian telah benar-benar rusak, para pengusaha akan lebih mudah mengalihfungsikannya menjadi lahan pendirian pabrik.
Namun sebenarnya, masalah paling mendasar yang dihadapi oleh para petani di Grobogan adalah kurangnya koordinasi antara petani dan pemerintah kabupaten. Para petani seakan bercocok tanam sendiri tanpa adanya arahan dari pemkab. Apalagi di tengah musim yang sulit diprediksi seperti sekarang ini, petani sering kali merasa bingung dalam menentukan tanaman apa yang akan mereka tanam. Pemkab melalui BMKG, harusnya memberikan informasi tentang prediksi cuaca yang akan melanda Grobogan selama beberapa bulan ke depan. Sehingga petani tak takut lagi mengalami gagal panen, karena salah dalam memperkirakan cuaca.
Akan lebih baik lagi jika pemkab bersedia melakukan riset terhadap lahan pertanian yang ada di Kabupaten Grobogan. Melalui riset tersebut, pemkab dapat memetakan persebaran hasil pertanian dari masing-masing kecamatan. Sehingga hasil pertanian di Kabupaten Grobogan akan semakin beragam serta memiliki pemetaan yang jelas.
Pemuda Grobogan Enggan Jadi Petani
Potensi besar dalam bidang pertanian yang dimiliki Kabupaten Grobogan, tak diimbangi dengan minat generasi mudanya untuk menjadi petani. Alasannya, mereka ogah berpanas-panasan, tak mau berjibaku dengan lumpur, dan malas menunggu hasil panen yang terlalu lama. Mereka lebih memilih profesi yang bersih, dan dapat menghasilkan uang dalam waktu yang relatif singkat.
Ada yang memilih untuk merantau di kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, bahkan hingga luar Pulau Jawa daripada menjadi petani. Meskipun sama-sama kepanasan karena hanya jadi kuli bangunan, tapi paling tidak mereka pernah merasakan bagaimana asyiknya hidup di kota.
Ada pula pemuda yang memilih untuk menjadi TKI di luar negeri, gaji yang bisa mencapai lebih dari 10 juta rupiah perbulan, tentulah menjadi alasannya. Bahkan semenjak mbabu di Korea menjadi trend di kalangan masyarakat Grobogan, ada saja orang tua yang rela menjual sawahnya untuk membiayai anaknya bekerja di Korea. Setiap satu tahun, paling tidak sebanyak seribu warga Grobogan berangkat bekerja ke luar negeri.
Akibatnya, lahan-lahan pertanian di Grobogan hanya digarap oleh para generasi tua yang semakin ringkih, sangat jarang pemuda Grobogan yang berkeinginan menjadi petani. Jika generasi tua telah tiada, lantas siapakah yang akan melanjutkan garapan sawah peninggalan mereka?
Tampaknya pola pikir masyarakat dalam memaknai arti kesuksesan, telah mengalami pergeseran. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa orang yang sukses adalah mereka yang bekerja di luar daerah, pulang kampung hanya satu tahun sekali ketika lebaran dengan mengendarai Kijang Innova, memiliki rumah berdinding batako dan berlantaikan keramik, hingga berpenampilan modis seperti halnya orang kota. Petani sama sekali tak termasuk dalam kategori orang sukses tersebut.
Para orang tua pun berlomba-lomba menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang paling tinggi, hanya demi satu harapan.
“Men uripmu penak, le, ora dadi tani koyo’ Bapak,” kira-kira seperti itulah harapan orang tua, ketika hendak melepas anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi apakah salah jika generasi muda berprofesi sebagai petani? Sebagai generasi yang tumbuh di era digital dengan segala kecanggihan teknologi, harusnya hal itu dapat membantu mereka dalam mengolah lahan pertanian.
Melalui kemudahan akses informasi, generasi muda dapat menjalin jaringan komunikasi dengan para sarjana pertanian untuk mengadakan riset pertanian di Kabupaten Grobogan. Mereka pun dapat memasarkan hasil panen secara online, sehingga petani tak perlu menjualnya kepada para tengkulak yang sering mempermainkan harga sesuk hati mereka. Melalui ide-ide kreatif generasi muda pula, harusnya para petani mampu mengolah hasil pertanian mereka menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis lebih, tidak hanya menjualnya dalam bentuk bahan baku mentah.
Dengan demikian tenaga kerja akan terserap optimal, angka pengangguran akan merurun, tak lagi merasa malu menjadi petani, dan generasi muda pun tak perlu lagi merantau ke luar daerah. Hal ini pun pastinya tak akan terlaksana tanpa adanya kesadaran masyarakat dan dukungan dari Pemkab Grobogan.
Ancaman terhadap Lahan Pertanian di Grobogan
Pertumbuhan industri di Kota Semarang yang berkembang semakin pesat tak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang mencukupi. Akibatnya para pengusaha mulai melirik daerah-daerah di sekitar Semarang yang masih memiliki lahan yang luas, di antaranya Kendal, Demak, dan termasuk pula Grobogan.
Jaraknya yang relatif dekat dengan Kota Semarang, kurang lebih memerlukan waktu tempuh selama 90 menit, membuat Grobogan menjadi sasaran empuk para pengusaha untuk medirikan pabriknya. Beberapa pabrik besar telah di Kabupaten Grobogan, misalnya, pabrik pakan ternak milik PT Japfa di Kecamatan Godong dan pabrik tas milik PT Pungkook Indonesia One di Kecamatan Wirosari.
PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, di Kecamatan Godong |
Pabrik-pabrik tersebut berdiri di atas lahan pertanian, limbah yang dihasilkan pasti akan merusak tanaman yang ditanam oleh para petani. Jika sudah seperti ini, siapakah yang mau bertanggung jawab? Ujung-ujungnya petanilah yang akan menjadi korban, dari upaya pemda dalam memajukan sektor industri di Kabupaten Grobogan.
Bapak dan Ibu jajaran Pemkab Grobogan yang terhormat, tolong berikan perhatian lebih terhadap nasib para petani. Grobogan tidak seperti Semarang, kota metropolitan yang juga menjadi ibukota provinsi Jawa Tengah. Bukan Demak dengan lokasinya yang strategis karena dilalui jalur pantura, dan memiliki potensi di sektor pariwisata hingga maritim. Bukan Kudus yang identik dengan PT Djarum, yang sudah dikenal luas di seluruh pelosok Indonesia. Bukan pula Jepara yang dikenal dunia lewat industri mebelnya.
Kabupaten Grobogan memiliki ciri khas tersendiri, dengan potensi besar dalam bidang pertanian. Tidak perlu meniru daerah lain dengan memberikan izin kepada para pengusaha untuk mendirikan pabrik dalam skala besar. Bapak dan Ibu yang terhormat cukup memberdayakan para petani, untuk meningkatkan hasil panen setiap tahunnya. Berikan pula bimbingan kepada ibu-ibu PKK untuk mengolah hasil pertanian menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis. Dengan demikian lahan pertanian di Grobogan akan tetap terjaga, dan kondisi masyarakat pun akan semakin sejahtera. Semboyan Grobogan Bersemi pun akan benar-benar terktualisasikan, bukan hanya sekadar menjadi slogan.
Buat generasi muda Grobogan, masih enggankah kalian untuk membuat Grobogan menjadi benar-benar bersemi? [Lee]
KOMENTAR