![]() |
Setelah dunia hancur |
“Haduh, mati lampu lagi,”
keluh ibu ketika tengah asyik menyaksikan sinetron favoritnya. Ayah yang tengah
serius di depan komputernya pun turut kecewa, file yang akan ia presentasikan
besok pagi masih belum terselesaikan. Sementara aku masih asyik mendengarkan
music sambil berselancar di dunia maya. Aku tak khawatir smartphoneku kehabisan
baterai, aku masih memiliki powerbank yang bisa bertahan selama tiga jam ke
depan.
Ilustrasi di atas, kiranya banyak terjadi dalam kehidupan
berumah tangga di Indonesia saat ini. Ketika mati lampu, semua akan merasa
kerepotan. Bosan karena tak bisa menyaksikan sinetron di televisi, gerah karena
AC tak bisa berfungsi, dan ayah pun terancam gagal presentasi. Jika sudah
begini, ujung-ujungnya masyarakat akan mengumpat bahkan mengutuk PLN yang bertanggung jawab atas ketersediaan
energi listrik.
PLN pun tak mau terus-menerus dikambinghitamkan, mereka
berkilah bahwa distribusi listrik terpaksa dikurangi bahkan diputus karena
berbagai alasan. Faktor bencana alam menjadi alasan yang sering digunakan. Misalnya,
kerusakan pembangkit listrik akibat gempa, debit air di PLTA berkurang akibat
kemarau panjang, panel-panel surya tak mampu menyerap sinar matahari secara
optimal akibat terhalang oleh kabut asap, serta becana-bencana lainnya.
Tapi konsumen adalah raja, masyarakat sebagai pengguna listrik
tak mau tahu dengan segudang alasan yang disodorkan oleh PLN. Mereka hanya
ingin listrik dapat tersalurkan dengan lancar, dan tidak byar-pet lagi.
Tidakkah PLN tahu bahwa di negara ini ada jutaan ibu yang kecewa karena
tertinggal satu episode dari sinetron favorit mereka gara-gara mati lampu? Para
remaja pun terancam tak bisa selfie, karena daya baterai smartphone
mereka tak lagi mencukupi.
Sebelum baterai smartphone benar-benar habis, tak jarang
netizen menyempatkan diri untuk membuat meme. Lagi-lagi, PLN yang menjadi
sasaran bully para netizen, hingga menjadi trending topic di
media sosial. Bentuk protes melalui meme terbukti lebih ampuh dan efisien,
tidak memerlukan banyak dana dana dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Jika sudah seperti ini, kakek dan nenek mulai bertutur dengan
segala kebijaksanaannya. Sebagai generasi yang pernah hidup pada dua masa,
sebelum dan sesudah ada listrik, mereka tak latah jika tiba-tiba terjadi
pemadaman listrik. Ketiadaan listrik mengigatkan masa muda hingga masa
kanak-kanak mereka, ketika listrik masih menjadi barang mewah.
Nenek bercerita tentang kebiasaan warga berkumpul dan bercengkrama
di bawah sinar rembulan, melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah. Kakek
pun menimpali dengan bercerita tentang permainan tradisional, seperti engklek,
gobag sodor, gasing, serta permainan lainnya yang tak memerlukan energi
listrik. “Ora ono listrik, simbah tetep iso urip,” ucap kakek sambil
tersenyum dengan pipinya yang kempot.
Berbeda dengan zaman sekarang, seolah listrik telah menjadi
urat nadi dalam kehidupan masyarakat. Jika urat itu terputus, maka kehidupan
pun akan mati. Tanpa listrik, perangkat elektronik tak bisa difungsikan. Tanpa
perangkat elektronik, masyarakat tak bisa bekerja, mobilitas mereka akan
terganggu, jaringan komunikasi pun tak lagi terkoneksi. Intinya, masyarakat era
digital telah sepenuhnya menggantungkan hidup mereka pada benda yang tak kasat
mata, bernama listrik.
Mati Lampu Dan Aksi Terorisme
Lantas, bagaimana jadinya jika kita menghubungkan antara mati
lampu dengan aksi terorisme? Keduanya merupakan dua hal yang sangat berbeda,
sama sekali tak identik. Berbicara tentang teroris, akan diidentikkan dengan
bom, kekerasan, ancaman, ISIS, kelompok Islam radikal, serta hal-hal negatif
lainnya. Setidaknya itulah anggapan yang umum berkembang di kalangan masyarakat Indonesia.
Kaum terpelajar yang mengaku sebagai pengamat terorisme pun
berlomba-lomba menganalisis motif di balik aksi terorisme, ada yang menyebutkan
adanya faktor ekonomi hingga politik. Dugaan yang paling jamak diyakini masyarakat
Indonesia adalah teroris berkeinginan untuk mendirikan negara Islam, beserta
seluruh ideologi fundamentalnya.
Jika memang benar demikian motifnya, lantas mengapa teroris
hanya meledakkan bom di hotel, kantor kedutaan besar, dan pos polisi? Apa keuntungannya
bagi mereka? Bukan tidak mungkin, jika bom berhulu ledak kecil itu sengaja
diledakkan hanya untuk menunjukkan eksistensi para teroris.
Akibatnya
masyarakat merasa terancam dengan keberadaan para teroris. Hal tersebut
diperparah dengan pemberitaan di media masa yang terkesan melebih-lebihkan demi
kepentingan ratting belaka, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi
masyarakat. Para teroris pun akan merasa terbantu dengan adanya media, teror
yang mereka tebarkan akan lebih mudah tersebar di kalangan masyarakat luas.
Apabila para teroris benar-benar ingin mendirikan negara
Islam, harusnya mereka mengebom tempat-tempat strategis di negara ini.
Misalnya, pusat pembangkit energi listrik. Mengapa memilih tempat tersebut? Pertama,
pusat pembangkit listrik tak dijaga ketat oleh aparat keamanan, masyarakat pun
tak menduga sama sekali jika ada bom yang meledak di tempat itu. Kedua,
seperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat telah menggantungkan hidupnya
pada perangkat elektronik. Seandainya pusat pembangkit listrik diledakkan, maka
distribusi aliran listrik akan berkurang bahkan terputus.
Akibatnya, keadaan akan gelap gulita tanpa penerangan, lalu
lintas akan kacau karena lampu merah tak dapat berfungsi. Pesawat dan kapal tak
akan bisa beroperasi, sebab tak mendapat panduan dari menara navigator.
Jaringan komunikasi yang menjadi tumpuan utama masyarakat era digital pun akan
mati, tak akan ada pemberitaan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat
hanya mampu menduga-duga, hingga kepanikan dan kerusuhan akan merajalela.
Saat itulah waktu yang tepat bagi teroris untuk melakukan
kudeta, menjadikan negara ini menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Perlawanan
dari pemerintah tidak akan maksimal, sebab tanpa listrik sistem persenjataan
canggih yang biasanya mereka gunakan tak dapat difungsikan.
Tulisan ini bukanlah sebuah sketsa para teroris untuk merebut
wilayah negara ini, namun mencoba menyadarkan masyarakat, khususnya Indonesia,
bahwa ada motif lain dari sebuah aksi terorisme. Coba dipikirkan, dari mana
para teroris mendapatkan persenjataan yang seakan tak pernah habis bahkan
selalu diperbaharui? Dari mana mereka mendapatkan dana untuk menjalankan setiap
aksi penyerangan?
Pastinya, ada oknum berkantong tebal dengan segala kepentingannya
yang menjadi biang keladi dari aksi terorisme. Bisa jadi karena faktor ekonomi,
diwujudkan dengan jual beli alutsista ilegal. Motif politik, sebab ingin
menjadi pahlawan kesiangan di tengah keriuhan aksi terorisme. Serta motif-motif
lain yang belum pernah diekspos oleh media.
Jadi jika di tempat Anda saat ini tengah mati lampu,
berhati-hatilah, karena mungkin para teroris telah sedang memulai rencananya. [Lee]
KOMENTAR