Bukan!
Dia bukan gadis seperti itu. Dia yang hanya
bisa berkata lewat senyuman. Matanya yang bulat memandang dunia apa adanya.
Tidak ada dendam, tidak ada sakit hati, yang ada di pikirannya hanyalah
bagaimana untuk tetap selalu tersenyum. Bahkan, tidak satu pun pertanyaan yang macam-macam
dilontarkannya –cukup tersenyum saja-
dengan mudah luka itu sirna. Sementara.
Entah luka seperti apa yang tega mengoyak satu makhluk yang tidak
tahu apa-apa. Menggores setiap sudut hatinya, tak sejengkal pun tertinggal.
Terbungkus tubuh sekecil itu, mana ada yang tahu dengan luka yang sejak lama
menginfeksinya. Ah, lagi-lagi dengan senyuman itu, penimbun setiap lukanya. Sementara.
Gadis itu memperhatikan anak-anak kecil berusia beberapa tahun di bawahnya,
berlarian mengelilingi taman kecil di samping tempat tinggal mereka. Hampir seluruhnya bernasib sama, namun dengan
beban yang berbeda. Sesekali sudut
bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan yang indah dengan binar mata bulat yang
menyipit. Sial, senyuman itu sungguh menawan.
“Kak Lara,” seorang bocah laki-laki berlari sambil meneriakkan
namanya.
“Ayo kita main,
jangan duduk di sini terus,” rajuk bocah itu ketika sampai di depan Lara yang sedang duduk di
ayunan.
Lara tersenyum lalu menggerakkan tangannya membentuk beberapa
deret kata.
“Maaf, kakak sedang tidak ingin main,” Lalu dengan
ekspresi meminta maaf menatap bocah itu.
“Ah, Kakak enggak asyik,” ucap bocah itu kesal,
mulutnya mengerucut, dan tangannya menyilang di depan dada, kakinya sengaja
dihentak-hentakkan berjalan menjauhi Lara.
Melihat tingkah kesal bocah itu, Lara malah tertawa, tawa tanpa
suara. Lara bangkit menyusul bocah lucu itu, dalam sekejap tubuh gempalnya
sudah berada di antara kedua lengan Lara. Tak perlu waktu lama, tubuh bocah itu sudah
diangkat lalu berputar bersamanya. Tawa Bocah lelaki itu pecah beradu dengan
desau angin sore hari.
Tanpa Lara sadari, ada dua pasang mata yang tidak luput memperhatikannya
dari jarak yang cukup jauh. Mereka
menatap Lara dengan bibir tersenyum dan mata berkaca-kaca. Tidak ada yang tahu
sebab sikap mereka. Seperti sikap diam
Lara yang sudah biasa, mereka pun sama bungkamnya. Keduanya sejenak berpandangan hingga salah satunya tumbang bersandar di dada yang satunya. Bagaimanapun,
selalu saja pihak wanita yang akan lebih dulu teremas hatinya.
“Sudah saatnya kita temui dia,” suara berat
itu akhirnya pecah sambil menenangkan seorang yang menangis di dadanya.
“Apakah dia bisa menerima kita lagi, mas? Aku enggak sanggup
kalau......”
“Kita coba saja, sudah terlalu lama kita berdiam diri. Sekarang saatnya
kita jelaskan padanya,” Potong Lelaki yang dipanggil “mas” itu.
Perlahan mereka berdua mendekati Lara yang sedang bermain dengan
bocah tadi. tawa Bocah itu semakin lebar. Mereka berlari tepat mengarah pada
pemilik sepasang mata yang memang sedang menuju arahnya.
“Kak Lara, tangkap aku kalau bisa. Hahahaha,” bocah itu
menoleh pada Lara yang hanya berjarak beberapa langkah di belakangnya.
Bug..
Seperti ada tembok penghalang di depan Bocah itu, ketika
mendapati pandangannya terhalang. Mata polosnya mendongak, menelusuri apa
sebenarnya yang ada di depannya. Tepat saat telah menemukan jawaban atas pertanyaannya,
Bocah itu sedikit mundur lalu menunduk, tubuhnya tampak sedikit takut dan
gelisah. Di belakangnya, Lara malah membeku,
menatap dua sosok di hadapannya. Ada rasa
familiar menyusupi celah hatinya, kakinya seperti terpasak di bumi. Perasaan-perasaan
lama mulai mengapung di permukaan setelah lama terpendam di kedalaman.
“Lara,” suara lirih itu, rasanya membuat
Lara kembali dari nostalgia dan menyadari bahwa bocah kecil kesayangannya sudah
pergi. Suara wanita itu yang diam-diam Lara rindukan setiap malam. Lara lalu
tersenyum mendapati dirinya masih belum bisa mengobati luka lama dalam hatinya.
“Lara, sebentar saja, dengarkan kami,” pinta wanita
itu sepenuh hati.
Tidak usah ditanya apakah drama ini disertai air mata. Lara
menghela nafas dalam, siapa tahu bisa melonggarkan sesak yang menghimpitnya.
Lara -dengan sangat baik- terenyum dan
mengangguk mengikuti mereka yang
membimbingnya menuju bangku panjang di depan bangunan
ini.
“Lara, maafkan kesalahan yang sudah kami perbuat. Kami sadar itu
menyakitimu,” wanita itu menahan isaknya.
“Kamu mau kan kembali
sama-sama seperti dulu lagi. Ada mama, papa, kamu di rumah kita. Mama…” Wanita itu sudah
tidak sanggup menahan isaknya, tangisnya pun pecah. Bahunya bergetar dengan tangan
yang memegang pundak Lara.
“Maafkan mama Lara, maaf… maaf…” kata itu yang dirapalkannya berkali-kali.
“Papa enggak tahu harus gimana
Lara. Beri kami jawaban, setidaknya tanda, bahwa kamu merespon kami. Sudah
berapa lama kamu diam begini,” kini berganti lelaki itu yang
memandangnya penuh pengharapan.
Dalam hati, Lara ingin berteriak dengan sumpah serapahnya. Lara
tahu itu semua tidak mungkin, dirinya hanya bisa tersenyum dan
memendam segalanya. hal yang paling dibencinya karena lukanya akan semakin terinfeksi.
“Lara, kembalilah, kasihan mama. Dia....”
Tangan Lara terangkat menghentikan kalimat lelaki yang belum pernah secara langsung dipanggilnya
Papa.
“Cukup! Aku harus mengakhiri semua ini,” batin Lara
menjerit.
“Lara tidak pernah memebenci kalian, Lara tidak pernah sekali pun memendam
dendam. Hanya saja,
Lara masih tidak bisa memaafkan diri sendiri. Semua yang
terjadi lima tahun lalu itu, semua salah Lara. Karena Lara cacat, tidak bisa
bicara. Kalau saja Lara bisa bicara, mungkin Helena tidak akan tertabrak mobil.
Kalau saja Lara tidak membeli kembang
gula waktu itu dan meninggalkannya sendiri di taman, pasti Helena masih bersama kita sekarang. Lara
sayang sama Helen. Lara masih belum memaafkan diri Lara sendiri,” Lara dengan lihai menggerakkan tangannya,
gerakan sederhana yang menurut beberapa orang mengagumkan. Bahasa tanpa kata, bahasa isyarat.
“Bukankah kamu marah dengan kami waktu kami….”
Lara menggeleng keras memotong kalimat wanita yang bernasib sama
dengan lelaki di sebelahnya.
“Lara memang pantas dimarahi, Lara pantas pergi, dan Lara memang
cacat. Kecelakaan itu terjadi karena Lara. Itu semua kenyataan ‘kan? Kalian bisa mengunjungiku
kapan saja, tapi aku tidak bisa kembali. Di sini sudah seperti rumah kedua bagiku. Toh
ini juga yayasan milik keluarga kita. Lara harap papa dan mama bisa memahami
keputusan Lara. Hanya itu yang lara minta,” sambung Lara
dengan cara yang sama.
Dua orang di depannya tertegun mencerna penjelasannya. Lara memandang mereka
tulus, seakan tidak ada sedikitpun luka yang tertinggal. Tidak ada air mata
yang keluar kali ini, bukankah Lara memang sudah kebas dengan rasa sakit.
Senyum Lara mengembang sebelum akhirnya meninggalkan dua sosok yang pasrah dengan skenario kehidupan.
Mereka memutuskan untuk menuruti permintaan Lara, bagaimanapun
mereka tidak ingin lagi menggoreskan luka lebih dalam padanya. Mereka tahu
kalau bukan itu yang sebenarnya dirasakan Lara. Lara lupa bahwa seorang anak
tidak akan bisa berbohong dari orang tuanya. Orang tua selalu tahu apa
yang sebenarnya dirasakan oleh putrinya
meskipun tidak pernah terungkap. Mereka pergi dengan bahu terkulai lemas serta pohon harapan yang telah
tumbang.
Di sudut lain, Lara memeluk foto keluarganya dulu, papa, dia,
Helen, dan mama. Dulu, semua itu membuatnya bahagia, tidak seperti sekarang,
hanya ada luka yang tidak tersingkap,
banyak kata yang tidak terucap dan kepingan hati yang tidak lagi lengkap. Lara
berharap, esok dirinya kembali dikenal sebagai Lara yang benar-benar terenyum
bukan Lara yang tersenyum demi menyembunyikan
segenap luka hatinya. Kedua mata Lara panas, perlahan bahunya bergetar
menghantarkan bulir-bulir air yang
mewakili perasaannya yang tersembunyi, memutar
memori terdalam yang kini menggema lagi.
“Kamu apakan
anakku, hah! Kamu membunuhnya. Pembunuh! Kenapa kamu diam? Benar saja, kamu
gadis bisu! Buat apa kamu di sini, pergi! Tidak ada gunanya lagi kamu di sini! Gara-gara
kamu anakku mati. Anakku yang tidak cacat. Seperti kamu!”
* Naila Nifda Amalia
KOMENTAR