Pementasan Patung Kekasih oleh teater Metafisis Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, Sabtu (15/05) |
“Aku tidak peduli siapa
penguasaku, penguasa adalah penguasa, pergantian dari satu penguasa kepada yang
lainnya tidak pernah menjamin apa-apa, yang terjadi dari hari ke hari sama
saja.”
Itulah sepenggal dialog
yang diucapkan oleh Wanita Pertiwi yang diperankan oleh Hani dalam teaterikal Patung Kekasih oleh teater Metafisis UIN
Walisongo, Jumat (15/05). Pementasan yang berlangsung mulai pukul 20:30 – 22:00
di auditorium I kampus I UIN Walisongo tersebut, dihadiri oleh ratusan pengunjung
dari dari mahasiswa UIN dan pegiat teater di Semarang.
Lurah teater Wadas Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang Syaikhu mengapresiasi pementasan
dari naskah karangan oleh Simon Hate tersebut. “Saya tidak menyangka Metafisis berani mengangkat
kisah dengan naskah yang berat seperti ini,” ungkapnya dalam diskusi usai pementasan.
Pementasan itu disambut
dengan antusias oleh penonton. Salah satu mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin Ishlah
mengaku sangat senang menyaksikan pementasan berdurasi 90 menit itu. Meskipun dialog
yang diucapkan sarat dengan simbol, ia mengaku justru itulah yang paling
berkesan baginya.
“Membuka mata saya, ternyata ibu pertiwi tak se
damai yang saya bayangkan,” katanya.
Mahasiswa semester IV itu menambahkan, kehadiran tiga kacung yang diperankan oleh Ghozali,
Emen, dan Ridwan, mampu mencairkan suasana di tengah dialog yang serius
lakon-lakon yang lain.
Tawa penonton pun lepas secara serentak ketika 3 kacung itu berlagak dengan
aksi konyolnya.
Pementasan itu mengisahkan Wanita Pertiwi
sebagai simbol Indonesia diperlakukan
dengan semena-mena oleh Pematung Tua yang diperankan oleh Achul hingga keindahannya terkoyak. Tidak
hanya sampai di situ, bahkan
ia
berniat menjual Wanita
Pertiwi kepada Pengusaha dari Thiongkok yang telah memberinya modal. Isak
tangis Srintil
sebagai putri dari
Wanita Pertiwi pun
sama sekali tak dihiraukan.
Cerita semakin dramatis
ketika Bayhaqi
sebagai anak dari pematung tua bersedia bertanding dengan ayahnya untuk ikut mewarisi Wanita
Pertiwi sebagai modelnya. Cerita diakhiri dengan
kematian pematung tua yang diracun oleh anaknya yang akhirnya kekuasaan diambil
alih oleh pematung muda.
Representasi Indonesia Kini
Sutradara pementasan Patung
Kekasih menjelaskan bahwa karya Simon Hate ini merupakan gambaran dari kondisi Indonesia sekarang. Meskipun
naskah tersebut dibuat pada masa Orde Baru, kondisi masyarakat Indonesia
sekarang tidak jauh berbeda dengan masa rezim Soeharto saat itu.
“Padahal sudah berkali-kali berganti pemimpin, namun Indonesia masih
berada dalam bingkai pembatas,” komentar Lurah Metafisis Yazid
Mubarok mempertegas pernyataan Septian.
Ketika ditanya mengenai
solusi apa yang paling jitu untuk mengakhiri carut-marut negeri ini, Septian
memaparkan bahwa solusi terbaik adalah sebagaimana yang dilakonkan dalam cerita
ini bahwa di akhir cerita, Pematung Tua mati karena diracun oleh Pematug Muda.
[Ali Nashokha/IDEA]
KOMENTAR