Oleh: M
ABUL FADLOL AF*
sumber: blogdetik.com |
Banyak orang
berasumsi, perbedaan adalah sebab dari perpecahan. Mind Set seperti ini sudah menjalar
sampai ke akar masyarakat kita. Dalam konteks Indonesia, yang kaya akan
perbedaan, asumsi seperti ini justru mempersulit terciptanya sebuah persatuan.
Karena dari awal sudah ada “tanaman” asumsi yang tidak ideal.
Mari sejenak
memperhatikan fenomena alam tentang daya Magnet. Seperti yang diajarkan bapak
atau ibu guru di Sekolah Dasar (SD), Magnet memiliki dua sisi kutub yang
berbeda. Kutub utara dan Kutub selatan, masing-masing disimbolkan dengan (U)
dan (S). Rumusnya, jika (U) + (U) = tolak-menolak, (S) + (S) = tolak-menolak
dan (U) + (S) = tarik-menarik. Disini, ada fakta alam yang menarik untuk
disimak. Yaitu, realitas dua muatan yang sama, tidak melahirkan daya tarik.
Justru sebaliknya, dua muatan yang berbeda, melahirkan daya tarik diantara
kedua kutub magnet. Rumus magnet ini adalah analogi dari kehidupan manusia
dalam dimensi interaksi kepada sesama manusia. Manusia ibarat Magnet yang
memiliki dua sisi alamiah.
Ketika manusia
berinteraksi dengan manusia lain yang memiliki sisi berbeda dengan sisi
kepunyaannya, maka keduanya akan menciptakan sebuah ketertarikan. Laki-laki akan
tertarik kepada perempuan, karena
keduanya memiliki sisi yang
berbeda. Bahkan, yang terlihat bermusuhan dalam kasat mata, pada hakikatnya
adalah satu kesatuan yang memiliki keterkaitan tak terpisahkan. Misalnya,
baik-buruk, bodoh-pandai, jelek-cantik, miskin-kaya dan lain sebagainya.
Seseorang tidak akan bisa dikatakan baik, pandai, cantik dan kaya tanpa adanya
buruk, bodoh, jelek dan miskin. Bahasa rumitnya, dua adalah satu dan satu
adalah dua. Dua perbedaan yang menjadi satu dan satu itu hakikatnya berisi dua
perbedaan. Semua ini adalah filosofi yang menegaskan, bahwa perbedaan bukanlah
alasan perpecahan. Melainkan titik awal merajut sebuah ikatan tak terpisahkan.
Menjalin ikatan dengan orang, tak memerlukan sebuah persamaan ideologi, ras,
suku, etnis dan lain sebagainya. Ini
adalah Mind Set yang harus ditanamkan kepada bangsa yang mengandung
banyak unsur perbedaan, termasuk bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya.
The Founding
Fathers (bapak
pendiri bangsa) kita, tepat sekali memakai “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai slogan
kenegaraan. Karena slogan tersebut memang mencerminkan kondisi riil bangsa
Indonesia dan sekaligus menjadi harapan, agar meski berbeda-beda, tetapi tetap
satu jua. Para pendahulu bangsa ini telah meletakkan batu-bata pondasi yang
kokoh tentang persatuan. Pada masa Soekarno saja, pernah terjadi perdebatan
sengit antar berbagai kelompok yang berlatar belakang berbeda, untuk menentukan
asas negara Republik Indonesia. Kalangan agamis, mengusulkan Islam sebagai asas
negara dan kalangan nasionalis, mengusulkan Pancasila. Perdebatan berlangsung
lama dan sengit, namun berkat harapan kedamaian dan keadilan dalam
keberlangsungan bangsa, mereka legowo menyepakati Pancasila dijadikan
ideologi bangsa. Karena Pancasila dinilai paling representatif untuk melindungi
keberagaman yang dikandung oleh bangsa Indonesia. Dan jauh sebelum itu, seorang
patih Majapahit bernama Gadjah Mada, mengeluarkan sumpah Palapa, yang berisi
janji untuk menyatukan Nusantara yang kaya akan perbedaan. Sungguh, perjuangan
pendahulu bangsa ini tidak mudah, selalu diwarnai dengan air mata, keringat,
dan darah. Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang baik, menghargai perbedaan di
tanah air Indonesia ini, adalah tolak ukur seberapa besar kita menghargai
perjuangan mereka dan sebagai bentuk kepedulian kita atas terciptanya kedamaian
dan keadilan di negeri pertiwi.
Ikatan Satu
Warna Indonesia
Indonesia ini seperti sapu
lidi. Sapu lidi adalah akumulasi dari banyak lidi. Banyaknya lidi itu
representasi dari banyaknya unsur dalam bangsa ini. Satu lidi tidak akan
berfungsi jika berdiri sendiri. Fungsi sebagai sapu, hanya akan dihasilkan jika
lidi-lidi bersatu. Dan syarat primer persatuan lidi adalah adanya ikat lidi.
Ikat tersebut berfungsi merekatkan atau mengokohkan lidi-lidi yang berada
dibawah ikatannya.
Dalam konteks indonesia,
“lidi-lidi” tersebut bernama agama, budaya, adat, ideologi dan lain sebagainya.
Unsur-unsur yang berbeda-beda dan memiliki prinsip-prinsip berbeda tersebut harus diikat menjadi satu, agar
tidak bercerai-berai dan bertikai. Ikatan yang mampu menyatukan segala
perbedaan ini adalah suatu persamaan yang diakui oleh semua unsur, yaitu ikatan
sebagai satu kesatuan dari bangsa Indonesia. Ikatan kebangsaan ini akan
menciptakan kekuatan untuk “menyapu” musuh yang sebenarnya. Musuh tersebut
bukan saudara sesama bangsa yang berbeda dari realitas identitas kita.
Melainkan musuh bersama yang menyerang seluruh warga negara Indonesia tanpa
pandang bulu. Jika dulu musuh bersama itu adalah Kolonialisme, namun
sekarang musuh tersebut adalah kebodohan, kemiskinan dan korupsi. Sebab
ketiganya adalah awal dari segala hal yang tidak ideal. Kata kuncinya,
persatuan melahirkan sebuah kekuatan. Meski satu lidi patah, berlidi-lidi yang lain
tidak akan goyah.
Ir. Soekarno pernah
berkata, “Jasmerah”, jangan sesekali melupkan sejarah. Sebab, dari sejarahlah
sebuah bangsa bisa belajar agar tak tersungkur di lubang yang sama. Dulu,
berabad-abad lalu, bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Barat dan tak pernah
menang meski melakukan perlawanan. Hal ini disebabkan karena perlawanan
dilakukan secara parsial, terpecah-pecah. Belum ada rasa persatuan diantara
kita. Kata kunci kedua, perpecahan melahirkan kekalahan. Oleh sebab itu, Mind
Set persatuan harus ditanamkan. Persatuan yang diawali dengan kesadaran
perbedaan dalam ikatan kebangsaan, menumbuhkan rasa saling memiliki dan
melindungi diantara sesama. Menciptkan iklim kedamaian yang menyejukkan.
Maka dari itu,
untuk mengukur seberapa rendah atau tinggi tingkat kesadaran atas perbedaan
ini, diperlukan sebuah barometer. Dan barometer tersebut adalah toleransi.
Sudahkah bangsa ini bertoleransi kepada setiap identitas yang memiliki prinsip
dan aktifitas berbeda satu sama lainnya? Belum sepenuhnya. Sepanjang sejarah,
bangsa ini selalu diwarnai konflik mengatasnamakan perbedaan golongan atau
ideologi, pun sampai saat ini. Banyak agama bertikai dengan agama lain, banyak
satu ideologi atau organisasi memaksakan kehendaknya kepada orang lain, bahkan pertumpahan
darah lintas suku pun mengatasnamakan sentimen perbedaan.
Sebuah kerukunan
lintas perbedaan, tidak akan terwujud tanpa ada toleransi. Toleransi merupakan
aktifitas komunikasi yang menyiratkan makna tidak egois. Artinya, dalam
berinteraksi lintas perbedaan, tetap harus memegang teguh keyakinan atau
identitas diri, namun disisi lain juga menghargai keyakinan dan identitas orang
lain saat berinteraksi. Toleransi bukan berarti mengakui, akan tetapi hanya
menghargai diantara sesama yang berbeda-beda, itu saja. Toleransi tidak akan
melunturkan identitas diri. Hanya sebuah jembatan menuju kerukunan dan
perdamaian. Banyak negara yang terpecah karena tidak ada toleransi lintas
perbedaan diantara warganya. Jangan biarkan bangsa Indonesia hancur sebagaimana
negara-negara itu. Save our Nation.
*Penulis
adalah anggota Divisi Kajian dan Riset LPM IDEA IAIN Walisongo Semarang
KOMENTAR