![]() |
(Foto: Iin-IDEA) |
Acara tersebut dibuka sekitar pukul
09.30 dan bertempat
di gedung Q, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) IAIN Walisongo Semarang.
Acara yang dihadiri ratusan
mahasiswa ini diisi oleh tiga narasumber, Ahmad Rofiq, guru besar Fakultas
Syari’ah, Asmoro Ahmadi, dosen Filsafat FU, dan Suyahmo, Guru Besar Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang (UNNES). Hadir pula dalam acara tersebut, rombongan
jama’ah Ahmadiyah yang telah diundang oleh HMJ-PA.
Arif Fachruddin, sekjen FORSIS, dalam sambutannya mengatakan bahwa seminar ini sebelumnya pernah
diselenggarakan di kantor Majelis
Ulama Indonesia(MUI) dan
Universitas Isalam Negeri (UIN)
Jakarta.
“Acara ini diselenggarakan dengan tujuan, agar
pancasila dijadikan sebagai tolak ukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” Kata Arif
Dalam presentasinya, Suyahmo mengatakan bahwa dalam menyikapi munculnya
gerakan neo-komunisme, harus
dilakukan dengan pendekatan persuasif, melalui
dialog bersama, bukan dengan kekerasan.
“Kita sebagai Warga Negara
dan sebagai elemen masyarakat intelektual, terutama bagi generasi muda penerus bangsa, jangan sampai
terjebak pada pemikiran-pemikiran chaufinistik dan eksklusif yang
bisa menjerumuskan ke arah tujuan yang menyimpang dari semangat Ideologi
Pancasila dan UUD 1945,” imbuhnya.
Adapun Asmoro, dalam pemaparannya, menambahkan, bahwa langkah untuk mengcounter ideologi sesat di
Indonesia adalah membangun karakter bangsa dengan memperkuat Ideologi Pancasila
melalui pedoman, pengalaman, dan
penghayatan Pancasila (P-4).
“Nilai-nilai Pancasila sudah saatnya diajarkan
ke seluruh lapisan masyarakat untuk membangkitkan semangat nasionalisme.” Papar Asmoro.
Hal senada juga dikatakan
Ahmad Rofiq. Problem paham
atau aliran yang mengancam nasionalisme (wawasan kebangsaan) adalah faham
trans-nasional yang cenderung ekseklusif.
“Pancasila harus dimunculkan kembali tapi dengan tafsir yang jelas agar semua elemen bangsa ini memiliki pemahaman yang sama,” tutur Rofiq. [Solihin/IDEA]
KOMENTAR